Sunday, 3 June 2012

Dongeng Sebelum Tidur



Dongeng Narcyius & Medusa.

(Peringatan, membaca ini dapat membuat garing dan pikiran tidak karuan..)

Disuatu pagi yang cerah, di sebuah tempat yang mirip perbukitan teletubies dengan sebuah telaga bening di tengahnya. Tiga orang sahabat, Hercules bin Zeus, Percyius bin Poseidon dan Narcius bin Jupri sedang terlibat sebuah diskusi hangat. Sehangat getuk londri yang mereka dapat semalam dari persembahan para pemuja mereka yang tinggal di Tulungagung.

“Us kuadrat.” Kata Hercules membuka percakapan. Yang dimaksud Us kuadrat adalah Percyius dan Narcius.

“Curhat dong…”

“Boleh dong…” Ujar Us kuadrat serempak.

“Saya lagi galau nih, kemaren saya jatuh cinta lewat dunia media. Inget ga pas kita ambil (baca : maling) sesajen di prempatan jalan buntu ? Nah di situlah saya jatuh cinta pada pandangan pertama.”

“Tapi kamu kan sudah terlibat cinlok sama si Xena The Warrior  of Mongisidu. Gimana dong ?” Tanya Narsius membongkar masalah.

“Iya sih, masing-masing punya kelebihan. Si Xena seorang demigod (setengah manusia dan setengah dewa sama seperti Hercy, panggilan kecilnya Hercules dan Percy, panggilan kecilnya Percyus), punya kelebihan tenaga, kelebihan sifat maskulin dan kelebihan usia. Sedangkan gadis ini cantik gila. Aphrodite mah lewat. Dia pasti anak dewa kamar mandi.”

“Terus, kamu pilih siapa ?” Percy pura-pura antusias. Sedangkan Narcy sedang asik sendiri godain angsa berbulu emas yang hampir kelelep karena keberatan bulu emas 24 karatnya.

“Ya saya milih gadis itulah. Yamg lebih elegan, cantik dengan senyum aroma kembang tujuh rupa dan tampak cerah ceria, dari pada Xena yang ke tomboy cowboy- dan hobi banting orang.”

“Tunggu, kayanya aku kenal deh, namanya pasti Lux Whitening With Aroma Therapy And Fresh Oil Energizing. Ya kan ?” Percy mencoba menebak. Dia pernah melihat di sebuah koran tempat alas sesajen pemuja dewa Jalan Pengkol yang memajang gambar perempuan cantik dengan sebatang sabun.

“Heheh… kok tau sih. Saya lupa namanya tapi ya kanyanya itu, supaya gampang dan singkat saya memanggilnya LWWATAFOE. Gimana, indah bukan ?”

“Jadi kamu yakin pilih dia ?” Percy nggak ambil peduli dengan nama aneh yang lebih mirip nama fobia laba-laba dari Spanyol daratan dari pada sebuah nama panggilan.

“Yo i, saya gak mau nanti punya turunan kaya Hulk yang kesurupan Gorila ngamuk saat nggak diberi uang jajan kalau saya nikahin Xena”. Beres. Masalah Hercy selesai . Tanpa kritik dan saran.

“Kalau kamu gimana, masih sama Anabeth apa sama Io (baca : Ayo. red.) ?” Hercy kini mulai penasaran dengan kisah cinta sahabatnya, Percy.

“Gag tau nih, sekarang Annabeth binti Athena lagi ngampus di Olympus ambil jurusan Ilmu Kesehatan dan Reproduksi Paus. Sedang Io sekarang dah menjauh dan milih dekat sama si Arciles teman les-nya di Wales.”

“Kalau boleh saya kasih saran, baiknya kamu sama Annabeth aja. Kan doi lagi belajar kelautan, nah pas dong tuh sama kamu yang anak laut”. (nelayaan kali…). Atau kalau enggak, daripada kamu mikirin si Io yang jelas seneng dengan Arciles, kamu jomblo aja dulu.” Ujar Hercules mengemukakan pendapat.

“Yeh, tanpa pendapat kamu juga emang itu kali yang sedang saya jalanin sekarang.” Sahut Percy dengan nada sengak, satu oktaf dibawah nada do minor terendah.

Sok ngasih solusi banget sih ni orang.

“Kalau kamu Narcy, gimana ?” Hercules mengalihkan energi perhatianya ke arah Narcius.
Tiba-tiba Narcy keluar dari dalam telaga sambil mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah dan tubuh atletisnya berkilau-kilau memantulkan sinar mentari pagi itu. Tangan kekarnya memegang angsa emas malang yang hampir tenggelam tadi. Para Satyr (manusia berkaki kambing dari pusar ke bawah) betina yang sedari tadi asik merumput di sekitar pada menjerit histeris, menyaingin dominasi kehistrisan dewa Pan. Tak ketinggalan para peri bunga yang ikut menyaksikan adegan erotis itu ribut, terdengar seperti ribuan lebah tanpa wujud.

Memang, diantara makhluk yang lainya, Narcius terkenal dengan kegantengannya. Bahkan para anak dewa-pun kalah gagah dengan si Narcius yang notabene hanya anak manusia biasa. Anak seorang pengusaha real estate di sini, di Edensore. Japri Van Edensore.

“Saya curiga sama kamu,” Ujar Hercy kemudian. “Kenapa sih kamu nggak punya pacar juga ? kamu tu ganteng, body kaya model iklan obat kuat, terus cewe-cewe sini juga pada naksir kamu loh. Tinggal pilih satu dapet dua. (emang beli sandal ?). Jangan-jangan kamu nggak seneng cewek, senengnya sama…”

“Cangkemu jo jo, asal jeplak æ nek ngomong.” Sela Narsius dengan bahasa asli Edensore yang kental.Mulutmu jo jo, asal keluar saja kalau bicara.

“Santai bro, sini duduk dulu yang tenang sama kita-kita. Bicarakan dengan kepala dingin, terus itu aurat tolong di tutup.” Timpal Percy menengahi sambil menunjuk  ke lutut Narcy.

Narcy langsung sibuk mengulurkan kainya yang basah sampai ke kaki. Lalu duduk  di antara sahabatnya sambil menikmati gethuk londri yang masih afdhol hangatnya.

“Nggak ada, belum ada cewe yang bikin saya tertarik. Sebenernya ada, tapi itu nggak mungkin…”

“Siapa tuh ?” Tanya Hercy dan Percy nggak kompak.

“Hemm… bilangin nggak ya.”

“Alaahh… terbuka aja sama kita, kan biasanya juga kita buka-bukaan (buka-bukaan rahasia, curhat maksudnya. red)”. Ujar Hercules dengan roman mupeng. Percy jaga jarak.

“Namanya Me…”

“Meganfox !” Sambar Hercy.

“Megaloman !” Kata Percy asal.

“Bukan dodol (Nunjuk ke Percyus) buluk (Nunjuk ke Hercules). Namanya Medusa.”

“Wiih… cakep dong tuh ce…” Ucapan Percy ngerem mendadak.

“What..!! Medusa..!!”

“Medusa itu siapa sih ?” Hercules tampak bodoh. Padahal aslinya tolol.
“…”

Diskusi pagi indah yang absurd itu ditutup dengan suasana tamaram sore Jum’at kliwon. Narcyius menyesal. Bukan menyesalai keterus teranganya, akan tetapi sikap Percyus, sahabatnya, yang tidak bisa menerima dan menghargai perasaannya. Sementara Percyius masih shock dengan sikap Narcyius yang tidak bisa diterima secara akal dan logika. Bagaimana mungkin seseorang yang normal bisa jatuh cinta terhadap monster. Ya, Medusa memang lebih pantas disebut monster karena makhluk satu itu dikutuk oleh para dewa dan terkutuk pula kelakuanya. Sudah banyak para kesatria dari penjuru negri mati membatu olehnya.

Sementara Hercules tersisihkan dari kedua sahabatnya, seperti ada rahasia antara keduanya yang ia tidak tahu. Ia merasa antara ada dan tiada seperti syair lagu yang dinyanyikan oleh Slash berjudul Sewu Kuto. Miris, terasing dan nggak nyambung.

***

It’s so sad…”

Yah, it’s so sad…”

“Tapi Med, this is truth, Kita nggak bisa merubah keadaan, walau kita ingin. Ingin sekali...” Dari balik sisa dinding bangunan tua yang hancur itu Narcy hanya mampu memenggang tangannya, tak lebih dari itu. Nafasnya berat dan matanya memanas berkaca-kaca.

“Jika saja mimpi ini seindah kisah di negri dongeng, akankah ini berakhir bahagia ? lewat pertaruhan cinta murni, lewat satu kecupan saja yang bisa mengakhiri semua penderitaan yang melelahkan ini.” Sekujur ular kadut di kepala Medusa mendesis pelan, seolah turut merasakan kesedihannya.

“Seharusnya ketika mereka mengutukku, mereka juga mengutuk hatiku untuk tak pernah jatuh cinta, tak pernah merindukan kasih sayang dan biarkan saja aku mati dengan hati yang beku.”
Percy hanya mengertakan giginya yang terkatup rapat. Ada sakit dan perih di dalam dadanya yang tak terlihat. Begitu ngilu menusuk dalam-dalam. “Ketika seseorang diberi kekuatan, mereka akan meminta kekuasaan. Tak peduli betapa lemah dan menderitanya orang-orang di bawahnya. Orang-orang yang menjadikan Goliath tanpak besar dengan kekerdilan mereka. Yang menjadikan para Indigo itu dewa di tengah keterbatasan mereka yang normal.”

“Ya, itulah kenapa Tuhan perlu mengadakan Kiamat, ketika takaran kuat dan lemah sudah tak seimbang, ketika hitam dan putih tak lagi sepadan dan saat terang dan gelap tak mengerti waktu dan ketentuan.”

Angin sore itu berhembus pelan, menggemerisikan kesahduan lewat ilalang yang meliuk liuk pilu. Seolah saling meyayat dan menyalahkan dengan bisik yang tajam. Perlahan di kaki langit sepenjuru barat memerah saga nan teduh. Riakan mega yang beriringin lembut seperti polesan semu malu pada pipi gadis beranjak dewasa. Beberapa ekor burung cendrawasih terbang rendah pulang ke rumah, bulu ekornya yang gemulai mendayu dan merayu dengan menawan, seperti para bidadari yang sedang menari dengan selendang pelangi. Menawarkan senyuman kepada dua insan di bawahnya yang sedang di sakiti cinta.

“Kenapa Yang Maha begitu tega menciptakan perbedaan ya ?” Tatapan Medusa menerawang jauh ke cakrawala. Seolah sengaja tanyanya di tunjukan pada semilir angin untuk disampaikan pada-Nya.

“Supaya dia punya alasan menurunkan cinta.”

“Tapi cinta saja tidak pernah cukup untuk menawarkan perbedaan.”

“Ya, karena cinta tak pernah cukup untuk satu alasan. Karena namanya cintapun punya perbedaan.”

“Lalu dimana letak keadilan sang Maha kalau cintaNya saja masih menyisakan luka”

“Karena itulah ia ciptakan The Judge day, di mana sisa luka di dunia akan diadilkan, tiap cinta akan dipertanggung jawabkan.”

Genggaman mereka berdua semakin erat, seolah saling merasakan ketakutan akan kehilangan masing-masing. Sementara langit sore semakin bersemu merah.

“Aku kadang berfikir  untuk mencapai tempat para dewa yang mngutukku lalu mengubah mereka menjadi batu.”

“Tapi kau akan mati bahkan sebelum di tempat mereka.”

“Tapi itu lebih baik, dan ku fikir lagi rasanya tak perlu untuk itu, toh sepanjang hidup mereka yang lama, cinta di antara mereka sendiri saling dikhianati karena jenuh dan cinta mereka pada pasangan manusia fana hanya membiarkan diri mereka sendiri menagis melihat yang dicintainya  begitu cepat mati.”

“Itulah kenapa di dunia yang serba fana ini aku bersyukur aku tak abadi. Keabadian itu hanya untuk dunia yang abadi. Bukan yang nanti kiamat.”

“Hanya yang Maha yang tau gimana rasanya kaya aku.”

“Hanya aku dan yang Maha, yang memilih kamu dikehidupan.” Ujar Percy serak.

“Maksudku, hanya yang Maha yang tahu bagaimana rasanya selalu ada penghujat tiap zamanya, yang selalu disalahkan untuk tiap jalan yang tak dimengerti ujungnya”.

“Yang Maha pasti lagi melihat kita, kalau kisahnya baru beberapa lembar langsung happy ending entar ceritanya nggak seru.”

Medusa terisak, matanya yang selalu membatukan setiap orang yang menatapnya seolah mencair bening, menjadi tetes-tetes perih yang bersumber dari dalam dadanya yang sakit tak teraba.

“Apa memang benar harus seperti ini, di mana besok matahari tidak pernah menyaksikan kita berdua lagi ?”

Diam dan hanya desau anginlah yang seolah menjeda. Tak tahu jawab apa.

“Med, biarkan aku menatapmu, biarkan aku menjadi batu yang tersenyum dari pada melebur tanah berlumpur kepedihan.”

“Jangan Narcy, walau tak bisa ku menyentuhmu lagi dan memilikimu, tapi aku bahagia memandangmu dari kejauhan lewat embun pagi dan mendengar suaramu yang disampaikan angin malam.”

“Kalau aku yang rindu kamu?”

“Tunggu saja aku di bawah pohon randu di tepi telaga itu. Aku yang yang akan datang untukmu. Asalkan kau datang tepat saat purnama kedua dalam satu bulan.” Janjinya.

Sejak saat itu Narcyus dan Medusa berpisah dan menjauh. Namun Narcyus tak pernah menahan rindunya menunggu purnama kedua di satu bulan yang sama. Tentu saja hal seperti itu hanya terjadi di Transylvania, tempat kelahiran moyang Edward Cullen, tepat saat musim dingin dan bulan berwarna biru yang hanya terjadi pada sembilan tahun sekali. Tak akan pernah terjadi di seluruh daratan Atlantis, apalagi di Edensor ini. Alhasil Narcyus hanya menangis dan menangis saja di telaga itu. Hingga lama-kelamaan kolam itu menjadi asin dan meluap. Para dewa murka setelah di komporin oleh para penduduk Edensor lain yang merasa sumber air mereka di cemari oleh Narcius. Dikutuklah Narcius karena kecengenganya seperti anak kecil, menjadi mannequin piss. Akibatnya lama-kelamaan Edensor malah kebanjiran karena Narcius ngucur kaya air mancur ga berhenti-berhenti. Akhirnya, seluruh Atlantis tenggelam dan perairanya menjadi asin dan pesing.

Sedangkan Medusa bertapa memeluk gunung minyak di pulau jawa hingga lumutan. Sampai suatu ketika para penduduk desa di kaki gunung tersebut tanpa sengaja menemukanya dan mencincang tubuhnya menjadi santapan di acara ultah desa tersebut. Arwah Medusa lalau menjelama menjadi anak kecil laki-laki (menurut saksi mata yang masih hidup yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kesaksianya, penulis curiga sebenarnya dia menjadi anak perempuan yang tomboy dengan model rambut berjambul. Dari suara tidak bisa dibedakan antara anak perempuan dan anak laki-laki, perhatikan saja para pengisi suara di film kartun seperti Upin Ipin, Rufi, Nobita, Goku dll. Faktanya para pengisis suaranya adalah perempuan).

Singkat cerita arwah Medusa yang menjelama menjadi anak kecil ini mengadakan syambara di alun-alun untuk mencabut sebatang lidi yang di tancapkanya. Seluruh warga desa tidak ada yang sanggup dan semuanya pusing mencari cara. Lalu, dengan mudah Medusa sendiri yang mencabutnya dan keluarlah air yang mengucur deras dari lubang lidi yang dicabut tadi. 

Semakin lama semakin membesar. Para warga awalnya senang, namun lama-lama mereka pusing (lagi) untuk menghentikanya. Setelah tujuh hari tujuh malam, akhirnya desa tersebut tenggelam seluruhnya. Dan hingga sekarang menjadi area rawa-rawa yang dinamakan Rawa Pening. Karena para warganya pusing tak ada para pejabat yang mau ganti rugi atas rumah-rumah dan lahan mereka yang tenggelam.

SEKIAN dan TERIMAKASIH. (Dah sanah, pergi tidur... Jangan lupa obatnya..)

0 comments:

Post a Comment

Bookmarks

free counters