Wednesday 19 December 2012

Lupa Jenggot

Istilah yang jadi judul diatas bukan tag line iklan produk perontok bulu, bukan juga judul sinetron yang tokoh utamanya ustadz-ustadz khilaf, juga bukan cerita horor tentang makhluk kecil, item, jelek, telanjang dan tidak seksi. (Itu Jenglot...). #tepok jidat #jidat temen.

Istilah ini didapat dari ektrasi kata-kata pilihan dengan bahan dasar pengalaman dan pengamatan yang mendalam yang kedalamannya sudah teruji secara klinis, psikis dan gratis. Iya, coba gambarkan (kalau membayangkan terlalu abstrak) hal apa yang bisa membuat seorang ustadz, seorang akhy aktifis, seorang santri semester akhir perguruan tinggi yang mana mereka semua tercirikan dengan balutan janggut berkarisma yang khas, bisa lupa terhadap status quo mereka sendiri yang dalam hal ini diwakili oleh janggut cetar membahana mereka...? Jawabannya; Air.

Iya, air. Ajak mereka rekreasi ke kolam renang dan mainkan sebuah permainan niscaya mereka akan larut dalam air dan keceriaan. Mainkan bola di tengah guyuran hujan juga akan terasa lebih banyak hal lucu untuk ditertawakan dari pada bermain bola ditengah padang pasir pada siang hari di musin panas. Itu juga yang saya saksikan ketika mereka atau kami lebih tepatnya rekrasi ke pantai. Deburan ombak yang berlipat-lipat dan lembutnya pasir yang menghampar menterpanakan saya pribadi betapa sisi kekanak-kanakan kita yang suka bermain dan bercanda-canda suatu ketika akan memiliki tubuh dan pikiran kita kembali hampir secara total dan tak terduga. Entah itu dengan berguling-guling di pasir, melompati gulungan ombak seperti sebuah kompetisi dan berkejar-kejaran saling menjatuhkan. Itulah moment-moment dimana kita lupa janggut dalam konotasi positif.



Akan tetapi ada juga istilah lupa janggut yang negatif. Pengalaman ketika kita mempercayakan suatu amanah atau tugas tertentu kepada mereka yang kita kenal sebagai "ikhwan" karena bukan kenal secara personal, tapi terikhwankan karena jenggot dan celana cingkrang yang mereka kenakan. Dan tidak ada kekeewaan yang begitu dalam dan menyakitkan dari pada harapan yang di patahkan oleh kenyataan dan  mengkhianati identitas keikhwanan. Terutama jenggot dan celana cingkrang sebagai sampul dan cerminan.

Suatu malam ketika saya, mas Agung dan pak Wahab hendak mengambil pesanan celana SAPALA anak-anak baru taun ini, ada cerita tidak mengenakan tentang oknum-oknum yang lupa jenggot ini. Mulai dari tukang besi pembuat pagar yang mengulur-ulur waktu hingga berbulan-bulan dari janji dan kesepakatan padahal sudah dibayar didepan, tentang pesanan kaos yang jauh harga dari kwalitas sampai celana seragam yang hendak kita ambil ini. Molor 3 bulan dari yang dijanjikan dan itupun masih harus dengan membatalkan 3 item yang sudah dipesan. Jelas kecewa karena tidak sesuai kesepakatan dan itu tadi, mengkhianati jenggot dan celana cingkrang yang dikenakan.

Celana cingkrang dan jenggot bukan semata kebetulan celana 1/4 yang dikenakan dan rambut liar di bawah dagu yang lupa dicukur. Bukan semata sampul penampilan. Itu adalah sebuah tanda jasadi dari ruhani yang memutuskan diri untuk jadi generasi rabbani dan penghidup sunnah Nabi yang dianggap mati. Sebuah mode mahal yang harus dibayar mental ketika yang demikian dianggap ciri teroris perusak kedamaian dari pada sejatinya sebuah ciri si pemilik hati yang ingin menaungingi diri dalam kekaffahan berislam yang rahmat bagi alam dan seluruh penghuni bumi.

Jadi, seperti pertanyaan Ilahi dalam Al Qur'an; "Apakah kalian akan berpaling sementara di samping kalian masih hidup seorang Nabi?", maka kenapa bisa lupa esensi tempelan jenggot alih-alih mengikuti sunnah Nabi tapi lupa terlalu lama dan terus menerus berulang ketika amanah dan kepercayaan saudaranya dikhianati dan diimingi janji yang tidak jujur.

Keberadaan jenggot sebagai identitas dan ciri sama halnya dengan jilbab yang dikenakan muslimat masa kini. Simbol-simbol yang sudah tidak lagi selaras dengan maksud dan seharusnya simbol itu digunakan. Seperti penggunaan tanda seru sebagai huruf vokal 'i', penggunaan merek balsem yang bating setir jadi merek minuman dan penggunaan gelar kendaraan umum roda tiga untuk merek sepeda motor. You know what. Gak yaman, maksa dan merusak kesan.



So, poinnya adalah gak usah akhirnya menilai munafik, mengincar dunia jika melihat ada orang lain yang lebih percaya dan nyaman bermuamalah dengan mereka non muslim yang bertanggung jawab dari pada harus jatuh berurusan dengan oknum-oknum ikhwan yang pada lupa jenggot. Muamalah dengan mereka non ikhwan atau muslim tidak ada sangkut pautnya dengan lemah iman dan cendrungan munafik. Gak ada..

Jangankan perkara bisnis semacam itu yang Rosul pun hingga wafatnya diriwayatkan masih punya hutang dengan Yahudi tetangganya, perkara jodoh pun tolak dan terimanya tidak melulu berkaitan dengan jatuh penilayan tinggi tipis iman. Fatimah adalah bukti hati ketika sahabat-sahabat Nabi yang teruji kesalihannya harus tertolak pinangannya dan menerima Ali kemudian. Ya, bukan berarti Ali lemah iman di sini, tapi lebih kepada keberanian Fatimah yang menolak mereka yang secara imani lebih dahulu terbukti.

0 comments:

Post a Comment

Bookmarks

free counters