Siang itu, sehari sebelumnya, sebuah surat undangan di atas
meja kantor saya terima. Isinya sebuah undangan untuk mengikuti Dauroh SAMARA.
Ini pasti salah, saya pikir. Ini mungkin salah ketik nama dalam undangan karena
mengingat banyaknya jumlah orang di Ma’had ini yang diundang. Wajib diundang.
Tapi bukan saya. Saya belum tercatat dalam daftar katalog orang yang
“berbahagia” di KUA manapun. Jadi, nggak ada alasan yang dibenarkan untuk
mengundang seorang lajangpun mengikuti dauroh tersebut. Dauroh SAMARA. Dauroh
SAkinah, MAwaddah wa RAhmah. Jelas, itu motto hidup orang-orang yang sudah
menikah dan membina keluarga.
Setelah dicek, nama itu benar-benar nama saya. Sepertinya
sebuah persekongkolan rahasia sengaja memasukan saya kedalam acara “yang bikin
deman” para lajang itu. Jadilah dengan setengah hati dan berat hati saya
menghadiri acara tersebut. Dengan maksud cuma setor muka diawal dan cabut saat
mereka lengah. Muahaha… Ide bagus.
Dengan wajah nervous yang gak enak diliat dan posisi duduk
yang bikin sakit pinggang saya terjebak duduk di baris ketiga dari depan. Tujuh
baris lagi siap mengintimidasi saya dibelakang. Padahal saya sudah membekali
diri dengan uang untuk nongkrong dikantin saat situasi dan kondisi
memungkinkan. Tapi posisi ini bikin segalanya jadi pesimis.
Oke, menit-menit pertama acara ini sudah membuat saya
terpojok dengan materinya. Ditambah lagi saat sang trainer mempertunjukan
macam-macam posisi KAMASUTRA di slide-nya!!! Waaaaa…….
Asli, siapapun yang memotret wajah saya saat itu dan coba
membandingkanya dengan warna kepiting rebus yang dilumuri saus tomat pasti
hampir tidak menemukan bedanya. Bukan karena malu setengah mati saat sang
Trainer bilang akan menunjukan itu, tapi juga tambah kecele saat memang yang
ditunjukan adalah macam-macam posisi TULISAN Kamasutra. Bukan jenis posisi
kamasutra yang kalian harapkan akan kalian lihat… Camkan ini baik-baik anak
muda.
“Jangan berasumsi!, Kan sudah saya jelaskan resiko
berasumsi..!” Sang Trainer teriak-triak dari depan panggung karena berhasil
dengan sukses membuat seluruh Asatidz dan penghuni Ma’had pagi itu ditipu
mentah-mentah.
Beliau berhasil menekankan bahwa asumsi adalah sumber utama
yang membuat suatu hubungan jadi tampak rapuh. Sangat rapuh. Asumsi dalam
bahasa agamanya adalah Zhon = Prasangka. Walaupun sebenarnya artian
dari asumsi itu prasangka yang umum, tapi asumsi cendrung lebih berat kepada Su’uzhon atau
prasangka buruk. Dan Rosulullah Sallallahu ‘alaihi Wasallam menekankan
ini dalam quotes-nya: “Iyyakum wazzhonna, fainna zhonna akzabul hadist”.
Jauhilah oleh kalian berprasangka, karena prasangka itu sedusta-dustanya
perkataan.
Ini adalah contoh kasus betapa bahanya asumsi, yang padahal
sudah benar menurut analisa tapi menibulkan masalah ketika diasumsikan.
Ceritanya Sukei, Darel dan Aksa makan bersama disebuah
warteg. Lalu ketiganya mengumpulkan uang masing-masing Rp. 10.000 karena
totalnya habis Rp. 30.000. Ternyata, si penjual warteg bilang kalau mereka
mendapat cash back Rp. 5000 dengan alasan mereka adalah pelanggan setia selama
lima tahun. Okelah kalo begitu. Rp. 5000 ini sepakat mereka bagi tiga.
Masing-masing mendapat Rp. 1000. Dan sisanya yang Rp. 2000 mereka infakan
dikotak infak yang telah disediakan penjaga warteg. Sampai disini tidak ada
masalah dengan hasil analisa ini. Semua jelas terbagi rata.
Tapi coba kita asumsikan…
Jadi sebenarnya menurut perhitungan setelahnya, mereka hanya
membayar masing-masing Rp. 9000, gak jadi Rp. 10.000 karena yang Rp.1000 balik
ke kantong mereka. Maka Rp. 9000 x 3(Sukei, Darel & Aksa) jumlahnya Rp.
27000. Lalu Rp. 2000 sepakat mereka bertiga keluarkan untuk infak, jadi Rp.
27.000 + Rp.2000 = Rp.29.000. Lalu, kumpulkan lagi dengan Rp. 3000 yang tadi
dibagi Rp. 1000 diantara mereka. Totalnya malah jadi Rp. 32000. Dari mana asal
uang Rp. 2000.
Kalo masih bingung mikir apa, coba liat table:
ANALISIS
3 orang makan siang
Expense Rp 30.000
Discount Rp 5.000
Rp. 3000 Bagi rata,
Rp 2.000 infaq
Pas!
ASUMSI
Rp 9.000,00
Rp 9.000,00
Rp 9.000,00
– Rp 27.000
– Rp
2.000 (infak)
– Rp 29.000
– Rp. 3000 (yang
tadi dibagi rata)
– Rp. 32.000
– Rp. 2000 ???
(dari mana)
Mungkin dari sinilah asal-usul kata- kata bijak Einstein
yang terkenal itu. “Tidak semua yang diperhitungkan dapat dihitung dan yang
dihitung dapat diperhitungkan”.
Asumsi itu hanya awal untuk mengfokuskan analisis kita.
Bukan malah final. Metode inilah yang dipakai Sherlock Holmes, Shinichi Kudo
dalam memecahkan kasus-kasus mereka. Tidak memaksakan asumsi mereka sementara
analisis tidak menampilkan bukti-bukti. Asumsi itu hanya apa yang sebenarnya ingin
kita lihat. Sementara analisa adalah apa yang sebenarnya terjadi. Asumsi
berbicara masalah praduga, analisa menunjukan fakta-fakta.
Kadang kita lihat ada Ibu yang membela mati-matian bahwa
anaknya tidak mungkin terlibat suatu tindak kriminal. “Dia itu pendiam, nggak
suka macem-macem, rajin bantuin orangtua dan bla bla bla…” Namun apa lacur,
semua bukti dan fakta mengarah keanaknya. Orangtuanya tidak mencoba memahami
bahwa ada motif yang hanya masing-masing diri yang tau persis. Seperti motif
pada diri anaknya.
Tapi, hukum di Indonesia sayangnya ber-asaskan praduga tak
bersalah. Penjara dulu baru pembuktian, kalo itu tersangka maling ayam. Gebukin
dan tembakin dulu kalo itu tersangka “terorisme”. Dan panggil baik-baik aja
kalo itu tersangka koruptor. Miris.
Omong-omong apa saya sudah ngomong kalau asumsi dan analisa
adalah kakak beradik beda ibu dan ayah? Pasti belum. Mereka mirip loh satu sama
lain. Kadang kita agak sulit membedakannya apalagi saat nonton komentator acara
bola dua-duan sama pembawa acaranya. Mana analisa mana yang cuma asumsi. Toh di
akhir komentarnya sang komentator akan menyandarkan semua pernyataanya, kalo
enggak kepada dewi fortuna ya kepada bola yang bundar. Jadi sekian menit dia
panjang lebar ngomong itu cuma omong kosong pengisi jeda main yang minim iklan,
kalau enggak mau dibilang iklanya sudah dimonopoli oleh perusahaan rokok. Walau
faktanya rokok dan olahraga tidak ada korelasinya sama sekali. Kenapa nggak
perusahaan susu atau sabun kesehatan atau apalah gitu yang sedikit ada hubunganya.
Daripada mencari pembuktian dari komentator bola lebih baik
ambil hikmah dari kisah tiga bersaudara ini yang sedang bingung membagi harta
warisan keponakan mereka berupa 19 ekor kerbau. Ketiganya bernama Sukei, Darel
dan Aksa. Iya, mereka orang yang sama dengan orang-orang yang dapet diskon di
warteg tempo hari.
Seorang tetangga mereka yang bijaksana bernama Pepatah
mendengar permasalahan mereka. Lalu ia membawa seekor kerbaunya untuk diberikan
kepada tiga bersaudara yang tak jelas juntrungannya itu. Sesuai dengan wasiat
sang keponakannya mereka, dibagilah 19 ekor kerbau tersebut yang kini jadi 20
ekor.
Sesuai sms wasiat tersebut maka si Sukei mendapat 10 ekor
(1/2 dari 20), Darel mendapat 5 ekor (1/4 dari 20) dan si Aksa dapat 4 ekor
(1/5 dari 20). Nah, setelah semuanya mendapat jatahnya masing-masing sesuai sms
wasiat tersebut, 10, 5, dan 4 kerbau. Maka sisanya yang seekor lagi diminta
kembali oleh tetangga bijak yang bernama Pepatah itu untuk dibawa pulang.
Jadi begitulah, pentingnya menaruh pengertian asumsi dan
analisa pada tempatnya, ini penting. Supaya hidup kalian terasa lebih berguna.
Bisa dibayangkan jika kalian tidak bisa membendakan apa itu asumsi, apa itu
analisa. Pasti hidup akan terasa hampa dan terasa tidak ada tempat di dunia ini
untuk orang seperti kalian.
Akhirnya juga, setelah saya mengerti dan bisa membedakan
antara asumsi dan analisa, saya jadi bisa menikmati dauroh samara secara alami,
walau sebenarnya itu premature. Mafi musykilah, toh ilmu tak pernah usang
apalagi overdosis.