Subhanallah

Maha Suci Allah

Alhamdulillah

Segala Puji Milik Allah

Allahu Akbar

Allah Maha Besar

Tuesday, 11 June 2013

Kisah Sebuah Kamar Bagian II



Aku tak peduli lagi saat dengan wajah tertutup engkau masuk
Aku pernah melihatmu sekilas suatu ketika kau mengintip di balik pintu
Tanganmu tak cukup lebut kurasa saat dengan sapu dan sulak kau mengelap meja
Saat warna-warni musim semi kau catkan kembali
Kau bahkan merobohkan sarang laba-laba yang mulai mengakrabiku
Siapa kau? Aku bertanya-tanya.
Kau membawa sekuntum bunga merona di tepi jendela
Kau memasang lukisan tentang pesisir pantai, puncak gunung dan saputan awan
Lalu kau menyertakan teman-temanmu untuk bertukar cerita dan tertawa
Kadang kau pun melonjak –lonjak gembira sendirian saja
Dan ketika kau terlalu terluka untuk bicara, dengan bantal yang basah karena air mata kau mengisahkannya semua pada dinding kamar.
Kitapun saling menjaga apa saja, kehangatan, kenyamanan, keindahan dan rahasia.
Waktu seolah berdetak sempurna untuk seterusnya.
Kau tak suka kemana-mana hanya berkutat pada buku
Atau bermain-main dengan gadis cilik tetangga dengan senggangnya
Atau sedikit merapikan penampilanku jadi tampat terjaga
Ah, kau…
Menepatiku dengan kisah yang brilian
Mengisi kekosonganku dengan mengesankan
Siapa kau? Aku bertanya-tanya.
Tapi aku lupa untuk menginginkan jawabanya
Ya sudahlah tak apa
Yang penting kita sudah seirama
Itu saja.
Selanjutnya>> »»  

Kisah Sebuah Kamar




Aku seperti kamar beruang hampa asalnya.
Lalu kau datang mengetuk-ngetuk pintuku yang rapuh.
Masuk dengan segenggam cahaya dan memaksaku membuka jendela.
Kau memandangku seluruh dengan sudut yang ku punya
Tersenyum memesona seolah kau punya segala rencana untuk mengindahkan semua
Ini itu kau tambahkan padaku, dan ku terima. Karena ruang ini milikmu sekarang dengan kau di dalamnya.
Lalu lama mulai berjalan lambat.
Kau mulai lebih sering keluar mencari suasana.
 Tak lagi melihat kedipan gemintang dari balik jendela.
Tak lagi menyanyikan lagu yang kau suka dengan gema lemari kaca
Tak lagi mebaca buku cerita sambil berbaring dan bersandar di dinding
Kau mulai lebih sering membanting pintu sekarang
Kau mencari sesuatu yang kau sudah tau dari awal memang di aku tak akan ada
Membongkar semua isi lemari, mengacak-acak tempat tidur dan menghempas semuanya kelantai
Dua tiga malam lalu kau enggan pulang
Tak ada lagi yang menyalakan lampu untuk malam yang gelap
Tak ada lagi yang menutup tirai jendala untuk angin malam yang dingin
Kau meninggalkan ku dalam berantakan
Entah siapa lagi yang akan datang dan tanpa enggan merapikan
Sementara tiap harinya aku semakin berdebu dan kusam.


-February 1, 2012-
Selanjutnya>> »»  

Sunday, 13 January 2013

Asumsi Prematur & Analisa Abnormal


Siang itu, sehari sebelumnya, sebuah surat undangan di atas meja kantor saya terima. Isinya sebuah undangan untuk mengikuti Dauroh SAMARA. Ini pasti salah, saya pikir. Ini mungkin salah ketik nama dalam undangan karena mengingat banyaknya jumlah orang di Ma’had ini yang diundang. Wajib diundang. Tapi bukan saya. Saya belum tercatat dalam daftar katalog orang yang “berbahagia” di KUA manapun. Jadi, nggak ada alasan yang dibenarkan untuk mengundang seorang lajangpun mengikuti dauroh tersebut. Dauroh SAMARA. Dauroh SAkinah, MAwaddah wa RAhmah. Jelas, itu motto hidup orang-orang yang sudah menikah dan membina keluarga.
Setelah dicek, nama itu benar-benar nama saya. Sepertinya sebuah persekongkolan rahasia sengaja memasukan saya kedalam acara “yang bikin deman” para lajang itu. Jadilah dengan setengah hati dan berat hati saya menghadiri acara tersebut. Dengan maksud cuma setor muka diawal dan cabut saat mereka lengah. Muahaha… Ide bagus.
Dengan wajah nervous yang gak enak diliat dan posisi duduk yang bikin sakit pinggang saya terjebak duduk di baris ketiga dari depan. Tujuh baris lagi siap mengintimidasi saya dibelakang. Padahal saya sudah membekali diri dengan uang untuk nongkrong dikantin saat situasi dan kondisi memungkinkan. Tapi posisi ini bikin segalanya jadi pesimis.
Oke, menit-menit pertama acara ini sudah membuat saya terpojok dengan materinya. Ditambah lagi saat sang trainer mempertunjukan macam-macam posisi KAMASUTRA di slide-nya!!! Waaaaa…….
Asli, siapapun yang memotret wajah saya saat itu dan coba membandingkanya dengan warna kepiting rebus yang dilumuri saus tomat pasti hampir tidak menemukan bedanya. Bukan karena malu setengah mati saat sang Trainer bilang akan menunjukan itu, tapi juga tambah kecele saat memang yang ditunjukan adalah macam-macam posisi TULISAN Kamasutra. Bukan jenis posisi kamasutra yang kalian harapkan akan kalian lihat… Camkan ini baik-baik anak muda.
“Jangan berasumsi!, Kan sudah saya jelaskan resiko berasumsi..!” Sang Trainer teriak-triak dari depan panggung karena berhasil dengan sukses membuat seluruh Asatidz dan penghuni Ma’had pagi itu ditipu mentah-mentah.
Beliau berhasil menekankan bahwa asumsi adalah sumber utama yang membuat suatu hubungan jadi tampak rapuh. Sangat rapuh. Asumsi dalam bahasa agamanya adalah Zhon = Prasangka. Walaupun sebenarnya artian dari asumsi itu prasangka yang umum, tapi asumsi cendrung lebih berat kepada Su’uzhon atau prasangka buruk. Dan Rosulullah Sallallahu ‘alaihi Wasallam menekankan ini dalam quotes-nya: “Iyyakum wazzhonna, fainna zhonna akzabul hadist”. Jauhilah oleh kalian berprasangka, karena prasangka itu sedusta-dustanya perkataan.
Ini adalah contoh kasus betapa bahanya asumsi, yang padahal sudah benar menurut analisa tapi menibulkan masalah ketika diasumsikan.
Ceritanya Sukei, Darel dan Aksa makan bersama disebuah warteg. Lalu ketiganya mengumpulkan uang masing-masing Rp. 10.000 karena totalnya habis Rp. 30.000. Ternyata, si penjual warteg bilang kalau mereka mendapat cash back Rp. 5000 dengan alasan mereka adalah pelanggan setia selama lima tahun. Okelah kalo begitu. Rp. 5000 ini sepakat mereka bagi tiga. Masing-masing mendapat Rp. 1000. Dan sisanya yang Rp. 2000 mereka infakan dikotak infak yang telah disediakan penjaga warteg. Sampai disini tidak ada masalah dengan hasil analisa ini. Semua jelas terbagi rata.
Tapi coba kita asumsikan…
Jadi sebenarnya menurut perhitungan setelahnya, mereka hanya membayar masing-masing Rp. 9000, gak jadi Rp. 10.000 karena yang Rp.1000 balik ke kantong mereka. Maka Rp. 9000 x 3(Sukei, Darel & Aksa) jumlahnya Rp. 27000. Lalu Rp. 2000 sepakat mereka bertiga keluarkan untuk infak, jadi Rp. 27.000 + Rp.2000 = Rp.29.000. Lalu, kumpulkan lagi dengan Rp. 3000 yang tadi dibagi Rp. 1000 diantara mereka. Totalnya malah jadi Rp. 32000. Dari mana asal uang Rp. 2000.
Kalo masih bingung mikir apa, coba liat table:
ANALISIS
3 orang makan siang
Expense  Rp 30.000
Discount Rp 5.000
Rp. 3000 Bagi rata,
Rp 2.000 infaq
Pas!

ASUMSI
Rp 9.000,00
Rp 9.000,00
Rp 9.000,00
–        Rp 27.000
–        Rp   2.000  (infak)
–        Rp 29.000
–        Rp. 3000 (yang tadi dibagi rata)
–        Rp. 32.000
–        Rp. 2000 ??? (dari mana)

Mungkin dari sinilah asal-usul kata- kata bijak Einstein yang terkenal itu. “Tidak semua yang diperhitungkan dapat dihitung dan yang dihitung dapat diperhitungkan”.
Asumsi itu hanya awal untuk mengfokuskan analisis kita. Bukan malah final. Metode inilah yang dipakai Sherlock Holmes, Shinichi Kudo dalam memecahkan kasus-kasus mereka. Tidak memaksakan asumsi mereka sementara analisis tidak menampilkan bukti-bukti. Asumsi itu hanya apa yang sebenarnya ingin kita lihat. Sementara analisa adalah apa yang sebenarnya terjadi. Asumsi berbicara masalah praduga, analisa menunjukan fakta-fakta.
Kadang kita lihat ada Ibu yang membela mati-matian bahwa anaknya tidak mungkin terlibat suatu tindak kriminal. “Dia itu pendiam, nggak suka macem-macem, rajin bantuin orangtua dan bla bla bla…” Namun apa lacur, semua bukti dan fakta mengarah keanaknya. Orangtuanya tidak mencoba memahami bahwa ada motif yang hanya masing-masing diri yang tau persis. Seperti motif pada diri anaknya.
Tapi, hukum di Indonesia sayangnya ber-asaskan praduga tak bersalah. Penjara dulu baru pembuktian, kalo itu tersangka maling ayam. Gebukin dan tembakin dulu kalo itu tersangka “terorisme”. Dan panggil baik-baik aja kalo itu tersangka koruptor. Miris.
Omong-omong apa saya sudah ngomong kalau asumsi dan analisa adalah kakak beradik beda ibu dan ayah? Pasti belum. Mereka mirip loh satu sama lain. Kadang kita agak sulit membedakannya apalagi saat nonton komentator acara bola dua-duan sama pembawa acaranya. Mana analisa mana yang cuma asumsi. Toh di akhir komentarnya sang komentator akan menyandarkan semua pernyataanya, kalo enggak kepada dewi fortuna ya kepada bola yang bundar. Jadi sekian menit dia panjang lebar ngomong itu cuma omong kosong pengisi jeda main yang minim iklan, kalau enggak mau dibilang iklanya sudah dimonopoli oleh perusahaan rokok. Walau faktanya rokok dan olahraga tidak ada korelasinya sama sekali. Kenapa nggak perusahaan susu atau sabun kesehatan atau apalah gitu yang sedikit ada hubunganya.
Daripada mencari pembuktian dari komentator bola lebih baik ambil hikmah dari kisah tiga bersaudara ini yang sedang bingung membagi harta warisan keponakan mereka berupa 19 ekor kerbau. Ketiganya bernama Sukei, Darel dan Aksa. Iya, mereka orang yang sama dengan orang-orang yang dapet diskon di warteg tempo hari.
Seorang tetangga mereka yang bijaksana bernama Pepatah mendengar permasalahan mereka. Lalu ia membawa seekor kerbaunya untuk diberikan kepada tiga bersaudara yang tak jelas juntrungannya itu. Sesuai dengan wasiat sang keponakannya mereka, dibagilah 19 ekor kerbau tersebut yang kini jadi 20 ekor.
Sesuai sms wasiat tersebut maka si Sukei mendapat 10 ekor (1/2 dari 20), Darel mendapat 5 ekor (1/4 dari 20) dan si Aksa dapat 4 ekor (1/5 dari 20). Nah, setelah semuanya mendapat jatahnya masing-masing sesuai sms wasiat tersebut, 10, 5, dan 4 kerbau. Maka sisanya yang seekor lagi diminta kembali oleh tetangga bijak yang bernama Pepatah itu untuk dibawa pulang.
Jadi begitulah, pentingnya menaruh pengertian asumsi dan analisa pada tempatnya, ini penting. Supaya hidup kalian terasa lebih berguna. Bisa dibayangkan jika kalian tidak bisa membendakan apa itu asumsi, apa itu analisa. Pasti hidup akan terasa hampa dan terasa tidak ada tempat di dunia ini untuk orang seperti kalian.
Akhirnya juga, setelah saya mengerti dan bisa membedakan antara asumsi dan analisa, saya jadi bisa menikmati dauroh samara secara alami, walau sebenarnya itu premature. Mafi musykilah, toh ilmu tak pernah usang apalagi overdosis.


Selanjutnya>> »»  

Wednesday, 9 January 2013

Cinta Dalam Diam


Jika aku jatuh cinta diwaktu yang salah
Aku akan diam
Diam-diam memperhatikan ronanya
Diam-diam menilai indahnya
Dan diam-diam mendoakannya..
Bukan berdoa pendiktean pada Tuhan
Tapi biarkan semua yang berjalan adalah kebaikan
Ya, aku yang mencintaimu dalam diam
Supaya ketika jalanya berbeda
Pedih lukanya dapat kuredam
Agar saat kau berjalan entah dengan siapa
Sakitnya kecewa sanggup ku pendam
Maka aku yg mencintaimu dalam diam
Menunggu saat yang tepat memberimu kejutan
Kado yng insyaAllah akan kau kecap sekali di kehidupan,
PERNIKAHAN..
Selanjutnya>> »»  

Saturday, 29 December 2012

Allah atau Tuhan? (Full Version)

Ini sebenarnya note yang saya tulis beberapa waktu lalu di Facebook yang lumayan mengundang perdebatan panas teman-teman. Di sini saya copas full version baik itu note, comment, note bantahan teman dan note terakhir dari saya sendiri. Check it out..

 
Maaf pisan afwan jiddan jika setelah mencerna share note ini terjadi efek samping berupa kegundahan yang menggulana, keresahan yang menggelisah atau hanya kebetean yang membasi..
Whatever...
Setidaknya saya butuh semacam statment langsung atau tanggapan baik berupa persetujuan, kebingungan sampai bantahan..
So, check this out and be care full.. L.OL.

ALLAH ATAU TUHAN?

Ada “sesuatu” yang maha berkuasa di jagat raya ini. “Sesuatu” itu menciptakan dan mengatur tatanan seisi alam semesta. “Sesuatu” itu adalah sumber kehidupan sekaligus penentu kematian. “Sesuatu” itu tidak terlihat, tetapi keberadaannya sangat nyata.

“Sesuatu” itu dibahasakan oleh orang Arab sebagai “Allah”. Orang-orang yang berbahasa Inggris mengatakannya “God”. Dalam bahasa Indonesia ia disebut “Tuhan”. Ribuan bahasa lain di dunia ini mempunyai kosa katanya masing-masing untuk menyebut “sesuatu” itu.
Sebutan “Allah”, selain digunakan oleh orang Arab, juga digunakan oleh umat Islam di berbagai negara non-Arab termasuk Indonesia.

Penyebutan “Allah” oleh masyarakat Islam di Indonesia adalah hasil penyerapan istilah-istilah Arab yang masuk seiring dengan datangnya ajaran Islam ke Nusantara. Karena sebutan “Allah” itu awal datangnya melekat pada agama Islam, selanjutnya orang-orang Islam mengidentikkan sebutan “Allah” itu dengan identitas keislaman mereka. Nah, dari sini lah kemudian akan muncul bahaya.

Orang Arab, apapun agamanya, menyebut “Allah” untuk memaksudkan “Tuhan”. Ada pula istilah “ilah” yang bisa dimaknai sebagai apapun (termasuk patung berhala, pemimpin/ulama, keinginan) yang dipertuhankan. Tetapi untuk menyebut “sesuatu” yang serba maha itu (Tuhan), tidak ada kosa kata bahasa Arab selain “Allah”.

Sebutan “Allah” di benak orang Arab, sama dengan sebutan “Tuhan” di benak orang Indonesia. Sifatnya netral, dan tidak terkait dengan agama apapun. Kita bisa membaca di dalam Quran ayat 9:30 dan 8:32 penggunaan sebutan “Allah” oleh kaum Yahudi, kaum Nasrani, maupun oleh kaum yang ingkar (kafir).
Lain di Arab, lain pula di sini. Di Indonesia, dan di negara-negara lain yang tidak berbahasa Arab, umat Islam menyebut “Allah” untuk memberi kesan eksklusif sebagai “Tuhannya orang Islam”.

Adanya peng-eksklusif-an sebutan “Allah” ini dapat dilihat dari perilaku umat. Umat Islam lebih memilih untuk menyebut “Allah” daripada “Tuhan”. Seakan-akan sebutan “Allah” itu memiliki keterkaitan yang tak terpisahkan dengan keislaman. Sebaliknya, sebutan “Tuhan” dirasa sebagai sesuatu yang kurang “islami”.

Selain itu, umat Islam merasa perlu melekatkan gelar “SWT” untuk membedakan “Allah” yang mereka sebut dengan “Allah” yang orang Nasrani sebut. Sejatinya, SWT (Subhanahu Wa Ta’ala) adalah sebuah sanjungan yang artinya “Tersanjung dan Tinggilah Dia”. Namun kemudian sanjungan tersebut mengkristal menjadi “nama belakang” yang digunakan untuk menandakan “Allahnya orang Islam”.

Upaya pembedaan lainnya –yang tampak dipaksakan– adalah dengan memodifikasi tulisan “Allah” menjadi “Alloh” (dengan “o”). Mereka ingin menegaskan bahwa yang mereka tulis itu dibaca dengan “L” tebal, bukan dengan “L” tipis seperti pengucapan orang Nasrani. Kami katakan ini sebagai upaya yang dipaksakan karena aksen Arab sendiri lebih condong kepada bunyi “Allah”, bukan “Alloh”.

Dengan mempersepsi “Allah” sebagai “Tuhannya orang Islam” –yang tampak dari berbagai upaya pengeksklusifan di atas,– sebenarnya umat sudah terjebak pada kerangka berpikir yang sangat berbahaya.
Jika umat mengakui ada “Tuhannya orang Islam”, pasti sebaliknya diakui pula ada “Tuhannya orang non-Islam”. Dengan kata lain, terbentuk anggapan bahwa Tuhan itu ada lebih dari satu! Kerangka berpikir yang demikian telah menyalahi prinsip ketauhidan bahwa Tuhan itu Esa.

Ketahuilah bahwa yang menetapkan shalat dan ibadah-ibadah lainnya atas kita adalah Tuhan. Yang menurunkan kitab suci, nabi-nabi, dan mengutus para rasul adalah Tuhan. Yang memberi rezeki dan jodoh kepada kita maupun kepada rekan kita yang berlainan agama adalah Tuhan. Hanya ada satu Tuhan. Tidak pernah ada yang namanya “Tuhannya orang Islam”.

Racun pikiran yang lahir dari penggunaan sebutan “Allah” ini memang sangat halus, namun dampaknya sangat fatal. Semua itu berawal dari penggunaan bahasa Arab yang ditautkan dengan keyakinan.
Karena itu, mari kita sudahi penggunaan sebutan “Allah”, dan menggantinya dengan sebutan “Tuhan”. Dengan langsung menggunakan bahasa sendiri, kita akan terhindar dari salah persepsi yang membahayakan ketauhidan.

Kemudian ini komentar dan reaksi dari teman-teman yang saya taging..


Akhù Håmzah Wahaha...yg terperangkap siapa nih??terlalu simple menyimpulkan kerangka berfikirnya ust...bar moco bukune jil po..hehe

Sukei Darel Aksa Jiahaha,... ki hasil search fakta tantangan dilapangan,.. daripada dihadapi personal kan mending di diskusiakan sisan disini,.. kwatir ada yg terperangkap trus diimani sendiri,..

Akhù Håmzah Hehe...dampak kebebasan pres kie...
Yg beri nama Allah itu bukan org arab mas,ya Allah sendiri,nek tuhan lebih dekat ke robb..masa di alquran diganti kata Allah dgn robb kabeh,,,hancur deh kita

Sukei Darel Aksa Nah,.. perlu ono pemjelasan secara ilmiahne kiyek,.. ben isa fight..

Akhù Håmzah Yo wes buka wae fushilat ayat : 30...piye ust mau menerjemahin ne???perintahx bgmn??ga pake tafsir juga sudah masuk,,,
metodenya dlm islam..
Dahulukan nash sblm akal..

Sukei Darel Aksa Orang yahudi, Nasrani dan kaum musrik bisa masuk "Orang-orang" itu dong krna mereka juga mengakui Allah sebaga sebutan Tuhan mereka seperti dalam surat Attaubah ayat 30..

Akhù Håmzah Haduh,di kesan3an ada kitab tauhid 3 jilid itu...
Mreka masuk rububiyyahx doank,
Ngaku tokz ga cukup,apalagi nyleweng,uda kena bantah di QS al ahad mas

Sukei Darel Aksa Allahab op Al Ahad kui??

Akhù Håmzah Iyo jal.lagi ngantuk.hehe al ikhlas maksude...koplakz.com..
Iblis malah luweh mas tinimbang yahudi nasrani...

Sukei Darel Aksa Lah iku,.. makane ki piye ben syubhate rak meraja dan lela... cntohe statment iki,. "Jika umat mengakui ada “Tuhannya orang Islam(Allah Red.)”, pasti sebaliknya diakui pula ada “Tuhannya orang non-Islam”. Dengan kata lain, terbentuk anggapan bahwa Tuhan itu ada lebih dari satu! Kerangka berpikir yang demikian telah menyalahi prinsip ketauhidan bahwa Tuhan itu Esa.",..

Akhù Håmzah Waha...maka dlm islam kite harus menyakini hanya satu,Allah,,tapi jng trus kerna hanya ada syubhat kita malah ngikut ga punya prinsip bilang tuhan,lha ini perintah langsung drNya..
Ada tuhan lain,itu cuma bahasa mas,

Sukei Darel Aksa Iya,.. Subhat itu mudah aja bagi yang tau, tapi bagi yg lain?? Tugas siapa menyadarkan?? dan ini yang penting., BAGAIMANA CARA MENYADARKAN YANG METODIS.. Ini medan perang pikiran itu,..

Akhù Håmzah Makanya ada yg namax dakwah...ya cuma itu solusinya...dgn bentuk beragamnya.
Pada prinsipnya yg terlanda virus itu cuma kalangan yg ngakunya intelek tual ,,sing kemlinti..amma masyarakat umum mah,nek ditanya tuhannya sp?jwbx mesti Allah.lha nek ditany...See More

Akhù Håmzah Tugas siapa???yg punya ilmu( yg ga punya jng coba2 ya,ntar malah keblinger)...
Bagaimana??turun dulu kelapangan,nanti pertanyaan itu kan terjawab...

Sukei Darel Aksa Inilah lapangannya,.. tanpa seyahu kita, semacam ini beredar dan meluas tak sebanding dengan yg merasa bertanggung jawab untuk meluruskan,. akan diam saja dan membiarkan dan mengandalkan "orang yg berilmu"? kenapa bukan kita yg sedari ini belajar banyak untuk jadi "orang yg berilmu.."

Sukei Darel Aksa makanya juga aku minta untuk komentar buat siapa aja yg baca,.. jangan diem aja palgi makan mentah,.. ini sengaja diwadahi disini dari pada dapetnya dari sumber lain,..

Akhù Håmzah Sip.
Berilmu yg dimaksud bukan pake " atas lho,hehe.
Pokoke segala cara deh...
Buat note bantahan skalian.biar imbang,keju ngetik pake hp nih...
Di webx insisth lengkap senjata bwt lawan liberalis.
Maju teruz....

Muhammed Faiz ,Salah satu solusinya adlh mndkwhkn secara benar makna "la ila illalloh" bukan artinya tiada tuhan selain alloh TAPI tiada sesemb,,,,,

Muhammed Faiz bahan yg berhaq dsembah kecuali alloh..

Akhù Håmzah Ketinggalan pakde,ane ga stuju klo yg melawan dibilang tak sebanding,tanya wae ust adian,1 thn yg lalu pernah nyampeiken ke kita,ada banyak yg sudah membendung,cuma yg tampak sedikit...

Sukei Darel Aksa Muhammed Faiz : Ga cukup,.. yg kita ajak bicara bukan orang kampung sebelah (ranjeng). Yang otaknya mengalahkan imanya..

Muhammed Faiz Jdi alloh lah yg haq.. Selainnya bathil.. Sprti surat luqman 30

Sukei Darel Aksa Akhù Håmzah : Sedikit itu yg dimaksud tak sebanding,..

Muhammed Faiz Oke2.. Itu salah 1nya, tapi target kita awam dulu, sbelum yg awam ikut2an terjebak,..

Sukei Darel Aksa Nah,.. trus klo yg Awam dah terjebak dgn cara dan jalan berfikir seperti itu, gimana caranya lgi.. Ini bukan bahas siapa yg akan kita hadapi tapi lebih ke apa sih yg kita hadapi,.. SIPILIS sudah meraja dan lela,.. Melebihi bid'ah kultur orang kampung,.

Muhammed Faiz Itu masih kalo..
Tpi akan lebih baiknya MARI kita buat "bantahan" dari note ini..

Sukei Darel Aksa Nah,.. itu...Ayo mari,..

Blangkon El Irhab Kykny di buku hujatan krangn Robert morey, prof dr amrika d bukuny: "the islamic invation" jg mnghujat lwt argumen sprt it, tp alhamdulillah ad buku bnthany dr orng indo, mantan biarawti, Ibu Hj.irene handono, bs dbli d grmedia atau toko2 bku trdkt,he.
jwbn bliau komplit n mengena,

Sukei Darel Aksa Klo kita sendri bisa jawab ga ya..?

Sukei Darel Aksa Jadi, Allah atau Tuhan??

Sukei Darel Aksa Jika esensinya da dalam hati,. Perkara hal bid'ah yg sering berdasarkan main hati itu juga bisa mendapat pembenaran,. Masalah hati kemudian harus juga kan ada dasarnya,. Nah, apa dasar yg absoulut untuk itu,..

Setyawan Purwanto Sedangkan, "sesuatu" tadi dlm kitab suci orang muslim, menegaskan bhw "dirinya" itu Allah,
innanii ana Allah fa aqimu sholat li dzikrii

Rhi Rhy Qs. Thoha :14 (klw gak salah)

Miftah Addien EL Haq st12 (judulnya kebesaranMU)

All@ Orang Arab, apapun agamanya, menyebut “Allah” untuk memaksudkan “Tuhan”. Ada pula istilah “ilah” yang bisa dimaknai sebagai apapun (termasuk patung berhala, pemimpin/ulama, keinginan) yang dipertuhankan. Tetapi untuk menyebut “sesuatu” yang serba maha itu (Tuhan), tidak ada kosa kata bahasa Arab selain “Allah”.

Sebutan “Allah” di benak orang Arab, sama dengan sebutan “Tuhan” di benak orang Indonesia. Sifatnya netral, dan tidak terkait dengan agama apapun. Kita bisa membaca di dalam Quran ayat 9:30 dan 8:32 penggunaan sebutan “Allah” oleh kaum Yahudi, kaum Nasrani, maupun oleh kaum yang ingkar (kafir).

Muhammed Faiz buat bantahannya donk?

Masih ingat catatan yang di tag oleh saudara Sukei darel aksa? ya catatan yang berjudul " ALLOH atau tuhan?" sudahkah anda membacanya dengan seksama dan membaca pula komentar komentanya...



 Nah, dah baca sekalian dong link yang di tulis bakal Syekh Muhammad Faiz di atas..
Beberapa waktu kemudian baru saya buat note berikutnya :

Ini nih, rame-rame berperkara sebutan “Allah atau Tuhan?”  di note VOL.037 limited edition. Well, Jaringan Islam Liberal yang beraliran SIPILIS (Sekulerisme, Pluralisme agama dan Liberalisme) dan bermuara pada ONE GOD MANY RELIGIONS konon berbasis di hampir semua Universitas/ Sekolah tinggi Islam Negri di Indonesia. Mereka menawarkan logika dan otak sebagai dewa tolok ukur keimanan mereka. Ajarana agama menjadi komoditi pelatihan kadar kecerdasan mereka dalam  mengolah “pesan Tuhan” kepada manusia. Ganas. Mereka menjadi front terdepan dalam perang pemikiran yang dicetuskan oleh para penghasut Islam.

    Dalam bukunya “Kenapa barat memfitnah Islam?” yang saya mendapat mandat untuk tidak hafal isinya karna keterbatasan daya kerja keras otak dalam me-recall informasi-informasi penting. (Contoh otak yang dihabiskan energinya untuk menganalisa hal yang remeh temeh dan sia-sia). Di sana ntah dijelaskan atau tidak, bahwa memang mereka adalah symbol satu sisi dari dualism segala hal. Kata pak Dan Brown dalam bukunya Angels & Demons, (tuh kan, lebih hapal fiksi ilmiah daripada non fiksi fakta ilmiah) dijelaskan bahwa tiap sesuatu memiliki keterbalikan. Hitam putih, air api, yin yang atau setan malaikat. Walau sebenarnya setan dan malaikat bukan contoh dualism yang tepat. Ga ada riwayatnya ada malaikat versus iblis yang perang berebut mendominasi manusia dan dunia. Iblis kerjanya menggoda (bukan memaksa loh) manusia untuk maksiat kepada penciptanya. Sedang malaikat cendrung pasif dan mutlak hanya melakukan sesuatu jika memang diperintah Allah saja. Sekalipun hanya jadi malaikat yang kerjaanya nungguin pintu langit. Sangat amanah dan nyaris ga ada malaikat yang berinisiatif punya ide menjadi malaikat penggoda kebaikan bersaing ketat dengan iblis.
Jadi,.. yah ngerti dong arahnya kemana maksud gw,.  DIA.LOE.GUE adalah sisi bersebrangan setan yang sebenarnya dari prinsip dualism tersebut. Allah dah teges banget bilangin dari awal kalo musuh kita adalah setan. Hizbullah vs hizbusyaithan. Dalam perang panjang yang menghabiskan seluruh usia kita ini kita berdiri. Jika kamu ga berpihak pada Al Qur’an dan amanah Nabi, Assunnah, maka secara otomatis spontanis kamu berpihak pada para pengingkar Qur’an dan Sunnah yang dipimpin setan. Sadar atau tidak, mengakui atau tidak.

     Rosulullah Sallallahu ‘Alaihi Wassalam dengan bijaknya mengingakan : “Bertafakurlah tentang ciptaaNya dan tak perlu berfikir tentang Zat-Nya”. Hadist ini menjadi pengarahan bagi ummat untuk memaksimalkan fungsi otak dan energy berfikirnya kemana seharusnya dicurahkan. Keutamaan bertafakur banyak disinggung dan menjadi motivasi amaliah oleh para ‘Alim Ulama terdahulu. Tak heran, produktifitas sumbangsih mereka dalam berbagai bidang keilmuan sangat mengagumkan, tak hanya ummat Islam, tapi dunia. Tak hanya masa itu, tapi hingga sekarang bahkan kemasa depan. Nama-nama seperti Ibnu Sina (Avicenna), Al Khwarizmi, Al Haithan, Al-jazari dll (yang sangat popular di barat, dimana barat sangat popular di JIL). adalah seklumit orang yang memaksimalkan fungsi otak pada tempat yang seharusnya. Teknologi per-sikat gigi-an zaman sekarang adalah hasil dari temuan ribuan tahun lalu yang dipopulerkan oleh Nabi Muhammad Sallahu ‘Alaihi Wassalam. Teknologi dengan ketaqwaan adalah kumpulan atom-atom yang bersatu yang dibangun oleh Iman sebagai electron, Ilmu sebagai proton dan neutron sebagai Amalnya.

     Ketika semua bersinergi maka tak akan sulit menjawab petanyaan seorang Atheis; “Bagaiman bentuk Tuhan umat Islam jika tak pernah tampak, bukankah itu hanya hasil pengkultusan imaginer?”. Seharusnya paling tidak Tuhan ada manifestasinya dalam zat yang bisa disentuh dan dilihat agar dipercaya ada.” Katanya lagi.

     Tanyakan padanya apa dia pernah jatuh cinta pada seseorang? Dan katakan padanya bagaimana bentuk cinta itu, bundar, kotak atau jajaran genjang? Jika tak tampak bagaimana ia percaya bahwa cinta itu ada? Tuhan itu seperti siang, Dia tak tampak namun ada untuk menampakan segalanya. Tak terbantahkan. Walau dengan serangan teori semacam diskusi tua ini:
“Apakah Tuhan Maha Kuasa menciptakan segala yang ada?”.
“Betul, Dia yang menciptakan semuanya”.
“Mutlak Tuhan yang mencitkan semuanya.?”.
“Betul”.
“Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan”.
Tanyakan balik padanya :” Apakah dingin itu ada?” Katakan bahwa dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika,yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.”
Tanyakan juga: “Apakah gelap itu ada?” Katakan bahwa “Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya.”
Kemudian tanyakan ini: “Apakah kejahatan itu ada?” Lalu jelaskan bahwa “Kejahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kejahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah hasil dari tidak adanya  kasih Tuhan di hati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya.”

Begitulah cara Albert Einstein mengimani keberadaan Tuhan dengan akalnya saat mendebat profesornya yang atheis.
Begitulah juga saat kita membela kehormatan Al Qur’an ketika dipertanyakan keabsahan firma-Nya yang menyatakan “Dan Kami telah “menghamparkan” bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran (15:19).”
“Apa bener Qur’an itu firman Tuhan?, kok Tuhan gak tau kalo bumi itu bulat, bukan “menghampar “ macam karpet atau lempengan”.
Kasih tau kalau dengan kata “menghampar” Allah memberi isyarat kepada penghuninya bahwa bumi itu bulat. Coba kalau bumi itu kotak, pasti dibantah itu istilah menghampar  oleh orang-orang yang tinggal di sudut atau garis tepi bumi. Coba ambil bola tetangga dan berhayalah bahwa itu bumi, trus temple seukuran kecil kertas sebagai elunya. Pasti si elu bakal memandang dan bilang, “yes, bola sebagai hamparan dan aku noda diatasnya!”. Dengan isyarat ini Allah mencoba berbicara kepada makhluknya dengan dekat lewat sudut pandangan si makhluk.
Lalu, Allah atau Tuhan?
Mengatakan bahwa penggunaan kata Allah sebagai “bahaya dan racun yang halus namun fatal” karena kata “Allah” juga digunakan oleh ummat non Muslim untuk menyebut Tuhannya (9:30 dan 8:32). Yang berarti secara tidak langsung dapat merusak bahwa “Tuhan itu esa”. Sampai disini si penulis menyatakan bahwa satu kata Allah itu umum untuk semua agama  dan itu merusak aqidah. Lalu dia melanjutkan..
{umat Islam menyebut “Allah” untuk memberi kesan eksklusif sebagai “Tuhannya orang Islam”.}
{Selain itu, umat Islam merasa perlu melekatkan gelar “SWT” untuk membedakan “Allah” yang mereka sebut dengan “Allah” yang orang Nasrani sebut. Sejatinya, SWT (Subhanahu Wa Ta’ala) adalah sebuah sanjungan yang artinya “Tersanjung dan Tinggilah Dia”. Namun kemudian sanjungan tersebut mengkristal menjadi “nama belakang” yang digunakan untuk menandakan “Allahnya orang Islam”.}
Dalam kitab Tauhid dan Syirik, Syrekh Ja’far Subhani bahkan menyebutkan bahwa kekhususan makna pada nama Allah dalam hal ini disebabkan oleh kebiasaan bangsa Arab menggunakan lafal “al ilah”. Penambahan kata “al” pada “ilah” dimaksudkan untuk menunjuk sesuatu yang telah dikenal dalam pikiran (isyarah dzihniyah).
Kanapa kemudian pengkhususan itu juga dicela? Apa kemudian pengkhususan itu berakibat pada menyalahi perinsip ketauhidan? Syauqi bilang, jika kita menyebut "Alloh" ,apa iya kita di dalam hati kita lantas mengakui ada Robb lain selain Dia, sehingga membatalkan aqidah ? Kata Allah sudah jelas rujukanya bahasa Al Qur’an yang qodarullah berbahasa Arab. Sedang kata “Tuhan?” Lebih fatal lagi.

Akar kata bahsa Indonesia adalah bahasa sangsekerta dan resapan bahasa daerah. Indonesia yang dulu bernama Nusantara dimdominasi oleh kerajaan hindu budha. Kata “Tuhan” lahir dari pendeskripsian tentang “sesuatu” yang maha berkuasa di jagat raya ini. Jadi Tuhan itu dari kata Tuh dan Hyang bahasa Sangsekerta. Cocok dengan literatur asal kata tuan yang dari kata Tuh, bahasa Sangsekerta. Dipadukan dgn Hyang yang artinya dewa, jadi tuan dewa. Setelah tau itu lalu apa iya kita akan menukar istilah penamaan dengan kata yang lebih jauh lagi hakikat makna bahasanya. Dia sibuk mengkritisi Al Qur’an sementara dia lupa bahwa diluar Al Qur’an yang diajaknya pembacana kesana itu malah lebih membahayakan aqidah.

Sekarang, Allah atau Tuhan? Akhirnya bahwa konsep yang ditawarkan oleh seseorang yang tidak memiliki wewenang ilmiyah ini hanya ingin menafikan dan mengerosikan kelekatan kita pada Bahasa Al Qur’an. Padahal, yang Allah butuhkan adalah ketaatan. Bukan kemampuan beranalogika. Secara logika tentu khuf dibawah sepatu lebih patut dibersihkan ketika berwudhu dalam safar ketimbang mengelap atasanya saja. Tapi Allah menghendaki kita taat. Ketaatan yang sama seperti yang dicontohkan oleh Nabi Musa (Nabi yang diimani tiga agama) saat beliau menghadapi ribuan ular sihir dan Allah memerintahkan Musa untuk mellempar tongkatnya. Secara logika, seharusnya Allah memerintahkan tongkat itu untuk memukul ular-ular itu. Tapi tidak, Allah meminta ketaatan. Tongkatpun dilempar dan terjadilah apa yang terjadi.
Maka…
Menurut pandangan saya yang memandang kuman di lautan pake sedotan, JIL ga lebih dari sekedar kumpulan orang yang anti kemapanan beragama. Anti kemapanan beragama artinya beragama tanpa keyakinan. Agama bukan untuk ditaati, tapi untuk sekedar basa-basi manusiawi.
Tapi…
Menurut informasi dari temen yang napasnya panjang banget kalo cerita tentang persoalan agama yang dipersoalkan oleh kaum yang berkalang di lingkungan IAIN Walisongo bilang, “Kadang mereka sengaja  menciptakan konflik pemikiran dalam syari’at agama. Dosen gue pernah bilang kalo itu namanya theory konflik. Dimana konflik sebgaja diciptakan agar para penganutnya mencari tau sebab musabanya syari’at itu diberlakukan”.

SEKIAN dan TERIMAKASIH
Selanjutnya>> »»  

Wednesday, 19 December 2012

Lupa Jenggot

Istilah yang jadi judul diatas bukan tag line iklan produk perontok bulu, bukan juga judul sinetron yang tokoh utamanya ustadz-ustadz khilaf, juga bukan cerita horor tentang makhluk kecil, item, jelek, telanjang dan tidak seksi. (Itu Jenglot...). #tepok jidat #jidat temen.

Istilah ini didapat dari ektrasi kata-kata pilihan dengan bahan dasar pengalaman dan pengamatan yang mendalam yang kedalamannya sudah teruji secara klinis, psikis dan gratis. Iya, coba gambarkan (kalau membayangkan terlalu abstrak) hal apa yang bisa membuat seorang ustadz, seorang akhy aktifis, seorang santri semester akhir perguruan tinggi yang mana mereka semua tercirikan dengan balutan janggut berkarisma yang khas, bisa lupa terhadap status quo mereka sendiri yang dalam hal ini diwakili oleh janggut cetar membahana mereka...? Jawabannya; Air.

Iya, air. Ajak mereka rekreasi ke kolam renang dan mainkan sebuah permainan niscaya mereka akan larut dalam air dan keceriaan. Mainkan bola di tengah guyuran hujan juga akan terasa lebih banyak hal lucu untuk ditertawakan dari pada bermain bola ditengah padang pasir pada siang hari di musin panas. Itu juga yang saya saksikan ketika mereka atau kami lebih tepatnya rekrasi ke pantai. Deburan ombak yang berlipat-lipat dan lembutnya pasir yang menghampar menterpanakan saya pribadi betapa sisi kekanak-kanakan kita yang suka bermain dan bercanda-canda suatu ketika akan memiliki tubuh dan pikiran kita kembali hampir secara total dan tak terduga. Entah itu dengan berguling-guling di pasir, melompati gulungan ombak seperti sebuah kompetisi dan berkejar-kejaran saling menjatuhkan. Itulah moment-moment dimana kita lupa janggut dalam konotasi positif.



Akan tetapi ada juga istilah lupa janggut yang negatif. Pengalaman ketika kita mempercayakan suatu amanah atau tugas tertentu kepada mereka yang kita kenal sebagai "ikhwan" karena bukan kenal secara personal, tapi terikhwankan karena jenggot dan celana cingkrang yang mereka kenakan. Dan tidak ada kekeewaan yang begitu dalam dan menyakitkan dari pada harapan yang di patahkan oleh kenyataan dan  mengkhianati identitas keikhwanan. Terutama jenggot dan celana cingkrang sebagai sampul dan cerminan.

Suatu malam ketika saya, mas Agung dan pak Wahab hendak mengambil pesanan celana SAPALA anak-anak baru taun ini, ada cerita tidak mengenakan tentang oknum-oknum yang lupa jenggot ini. Mulai dari tukang besi pembuat pagar yang mengulur-ulur waktu hingga berbulan-bulan dari janji dan kesepakatan padahal sudah dibayar didepan, tentang pesanan kaos yang jauh harga dari kwalitas sampai celana seragam yang hendak kita ambil ini. Molor 3 bulan dari yang dijanjikan dan itupun masih harus dengan membatalkan 3 item yang sudah dipesan. Jelas kecewa karena tidak sesuai kesepakatan dan itu tadi, mengkhianati jenggot dan celana cingkrang yang dikenakan.

Celana cingkrang dan jenggot bukan semata kebetulan celana 1/4 yang dikenakan dan rambut liar di bawah dagu yang lupa dicukur. Bukan semata sampul penampilan. Itu adalah sebuah tanda jasadi dari ruhani yang memutuskan diri untuk jadi generasi rabbani dan penghidup sunnah Nabi yang dianggap mati. Sebuah mode mahal yang harus dibayar mental ketika yang demikian dianggap ciri teroris perusak kedamaian dari pada sejatinya sebuah ciri si pemilik hati yang ingin menaungingi diri dalam kekaffahan berislam yang rahmat bagi alam dan seluruh penghuni bumi.

Jadi, seperti pertanyaan Ilahi dalam Al Qur'an; "Apakah kalian akan berpaling sementara di samping kalian masih hidup seorang Nabi?", maka kenapa bisa lupa esensi tempelan jenggot alih-alih mengikuti sunnah Nabi tapi lupa terlalu lama dan terus menerus berulang ketika amanah dan kepercayaan saudaranya dikhianati dan diimingi janji yang tidak jujur.

Keberadaan jenggot sebagai identitas dan ciri sama halnya dengan jilbab yang dikenakan muslimat masa kini. Simbol-simbol yang sudah tidak lagi selaras dengan maksud dan seharusnya simbol itu digunakan. Seperti penggunaan tanda seru sebagai huruf vokal 'i', penggunaan merek balsem yang bating setir jadi merek minuman dan penggunaan gelar kendaraan umum roda tiga untuk merek sepeda motor. You know what. Gak yaman, maksa dan merusak kesan.



So, poinnya adalah gak usah akhirnya menilai munafik, mengincar dunia jika melihat ada orang lain yang lebih percaya dan nyaman bermuamalah dengan mereka non muslim yang bertanggung jawab dari pada harus jatuh berurusan dengan oknum-oknum ikhwan yang pada lupa jenggot. Muamalah dengan mereka non ikhwan atau muslim tidak ada sangkut pautnya dengan lemah iman dan cendrungan munafik. Gak ada..

Jangankan perkara bisnis semacam itu yang Rosul pun hingga wafatnya diriwayatkan masih punya hutang dengan Yahudi tetangganya, perkara jodoh pun tolak dan terimanya tidak melulu berkaitan dengan jatuh penilayan tinggi tipis iman. Fatimah adalah bukti hati ketika sahabat-sahabat Nabi yang teruji kesalihannya harus tertolak pinangannya dan menerima Ali kemudian. Ya, bukan berarti Ali lemah iman di sini, tapi lebih kepada keberanian Fatimah yang menolak mereka yang secara imani lebih dahulu terbukti.
Selanjutnya>> »»  

Bookmarks

free counters