Saturday 17 December 2011

Pak Tua, Anak Muda & Kambing Theory


Alkisah, ada seorang aku yang berperan sebagai Anak Muda, menunggu bis jurusan Bandung Semarang di sebuah Terminal bis yang tidak boleh disebutkan namanya. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba datang seorang Pak Tua dengan senyum ramahnya memohon untuk duduk dikursi sebelahku yang kebetulan secara tidak sengaja, kakiku numpang diatasnya dengan pose tidak sopan. Siapa yang tega membiarkan seorang tua dengan senyum mesra dan wajah kelelahan berdiri lama-lama ? Aku tidak. Kupersilakan beliau duduk.
“Terima kasih.” Ujarnya.
Ku balas dengan senyum kearahnya.
“Adek mau kemana ?”
“Ke Semarang.” Jawabku singkat.
“Sekolah ?”
“Hah…” Aku mengerenyitkan dahi.
“Ke Semarang sekolah?” Masih dengan senyumnya yang awet.
“Oh, iya.. Enggak… Engg… Maksudnya kebetulan saya memang dari sana dan ke Bandung sini pas lagi ada acara aja.”
“Hmm…” Pak Tua menganguk-anggukan kepalanya. Dan bla bla bla…
Setelah melalui beberapa adegan basa-basi, ramah tamah sekaligus halal bihalal. (ngawur.com) sampailah pada hal penting, sebuah ungkapan seorang Ayah yang putus asa terhadap anak-anaknya. Iya, anaknya ada lima, tapi tidak ada satupun yang bisa memahami harapan orang tuanya. Entah dosa saya apa, yang jelas saya bukan anaknya. Tapi sepertinya luka hati yang begitu dalam dan lama harus segera diluapkan, tidak bisa menunggu bis Bandung express yang akan mengankut saya datang, misalnya.
Pak Tua : “Berbaktilah kepada orang tuamu selagi mereka masih hidup. Supaya nanti kau tidak menyesal.”
Anak Muda : (mengangguk-ngangguk, sambil bergumam : Oke, itu biasa…Semua orang tua yang pernah ku temui pasti menyarankan itu, karena itu adalah keahlian mereka.
Pak Tua : “Karena mereka pasti kecewa, jika anaknya tidak pernah bikin bangga. Kebanggaan itu bukan karena kamu sukses, kaya raya atau punya jabatan tinggi. Bukan. Mereka bangga, kalau anaknya bisa berbakti dan membantu orang tuanya.”
Anak Muda : …
Pak Tua : “Sewajarnya bukan, jika anak yang diurus dari bayi sampai dewasa, dari tidak punya apa-apa sampai bisa apa-apa, melakukan balas budi.
Anak Muda : … (mulai bosan).
Pak Tua : “Tidak pernah akan setimpal. Tapi tetap itu yang paling diharapkan orang tua dari anaknya.”
Anak Muda : … (memikirkan serangan balik)
Pak Tua : “Satu orangtua sanggup membuat bahagia sepuluh orang anak, tapi sepuluh orang anak belum tentu sanggup membahagiakan satu orangtua.”
Anak Muda : “Nggak juga kali Pak, tergantung manusianya. Bukankah anak adalah hasil dari didikan orangtuanya ? Mungkin apa yang dianggap baik oleh orangtua sering kali dipandang salah oleh anak. Mengkomunikasikannya saja mungkin sebenarnya yang salah. Bahasa marah diartikan oleh kami sebagai benci, tapi bagi orangtua kami mungkin itu bahasa cinta satu-satunya agar kami tidak melakukan sesuatu yang merugikan”
Bagaimanapun ini bahasa anak muda yang diperhalus sedemikian rupa.
Pak Tua : “Orangtua kita mungkin bukan manusia yang pantas diamanahi Tuhan untuk mengurus, membimbing dan mengasuh kita. Harapan kita, mereka bukan orang yang gampang marah-marah terhadap hasil kerjaan kita yang belum memuaskan. Bukan orang yang senewen menilai kita yang jauh dari kata baik. Bukan orang yang pelit membagi sapaan, pujian atau rizki sekedarnya untuk memenuhi hasrat manusiawi ke-anak-kan kita. Iya kan ?”
Anak Muda : (mengangguk-angguk tanda sepakat).
Pak Tua : “Tapi coba buat daftar kebaikan, sekecil apapun, yang sudah orangtua lakukan untuk anda. Dari masih dalam kandungan sampai berumur dan mampu berbuat macam-macam sekarang ini ? Jawab saja dengan jujur untuk dirimu sendiri.”
Okeh… Itu akan saya pikirkan baik-baik setelah saya bisa duduk nyaman nanti di dalam bis. Dan bis sialan itu lama sekali munculnya.
“Mungkin anda lupa untuk sekedar mengingat apa saja jenis kebaikan yang telah mereka perbuat demi anaknya ini, karena sering kali jenis kebaikan yang kita harapkan dari mereka berbeda warna, rasa dan aromanya.” Lanjutnya penuh retoris.
Bukan Pak, saya lagi menderita bosen. Jadi kurang peka terhadap lingkungan.
Pak Tua : “Bukankah lebih baik pelihara anak kambing dari pada anak sendiri ???”
WDHEZZEG…!!!
Apapun maksudnya, itu terdengar menyiksa, menekan dan kejam. Sejak kapan ada orangtua berfikir bahwa lebih baik pelihara anak kambing dari pada anaknya sendiri ?! Aku jelas tampak kebingungan dan tak percaya. Itu terlihat pasti dari mulut yang menganga dan mata yang membelalak.
Hening…
Satu bis Bandung express masuk terminal pemberangkatan. Sejenak aku mencocokan nomor plat bis dengan karcis. Entah kenapa aku bersyukur, itu bukan bis yang akan kutumpangi pulang.
“Maksudnya tadi apa pak ?”
Beliau tersenyum. Aku lihat diwajahnya tidak tampak kerutan kemarahan atau emosi yang sedang memuncak. Tapi yang jelas, beliau puas membuat anak muda yang sok tau ini penasaran.
“Coba saja adik pikirkan ini, kalau anak kambing kita pelihara, dia tidak butuh banyak perawatan dan keperluan yang harus di penuhi seperti anak manusia. Mau makan tinggal kasih aja rumput yang gak perlu nanem itu. Nggak perlu disekolahin, jadi ga ada biaya mengikatkan diri kesekolahan selama belasan tahun. Nggak akan merengek minta uang. Minta ini itu, iya kan ?”
“Belum lagi dihitung untungnya. Kambing kalau sudah gede, bisa dijual. Kalau beranak menghasilkan uang.”
Aku cuma diam. Bagaimanapun, terasa tidak adil membandingkan manusia dengan hewan. Penilaian itu kedengaran terlalu berlebihan dan pendek. Itu membuatku ingin melihat subuah sisi dengan terang, yang mungkin bagi kita dengan status anak, sisi itu terlalu abu-abu dan berkabut. Jadi aku tidak berkomentar apa-apa. Meyakinkan orang tua ini, bahwa aku pendengar yang baik.
“Bandingkan dengan anak manusia, dari masih dalam kandungan ibunya, dia sudah menyulitkan, baru keluar saja sudah minta menghabiskan biaya yang banyak dan perawatan yang telaten. Besar sedikit, sudah mulai disekolahkan, sudah mulai banyak kebutuhan dan keinginan yang wajib dipenuhi. Tidak setahun dua tahun seperti itu, semakin besar, semakin banyak dan besar juga pengeluarannya. Mulai dewasa, mulai kenal cinta dengan orang lain. Mulai banyak teman, mulai sering bantah dan melawan keinginan orang tua. Mulai bisa cari uang sendiri, mulai melepaskan diri dari ikatan orang tua, merasa lebih bebas. Bukan saja karena berbuat ini itu sudah tidak ada yang ngatur-ngatur, tapi juga karena toh dia sudah tidak butuh lagi diikat orang tua.”
Beliau menghela nafas panjang. Terasa berat. Mungkin seberat perasaanya selama ini. Bagai manapun, selain memang berperan sebagai orang tua, toh beliau pernah merasakan dan mungkin masih berstatus sebagai anak. Tokoh yang sedang dikritisinya sendiri.
“Apalagi jika sudah berkeluarga.” Lanjutnya. Kali ini dengan suara yang agak ditekan.
“Maka sudah pasti perhatian kita akan segenapnya dicurahkan untuk keluarga sendiri. Belum lagi kalau sudah punya anak. Perhatian untuk orang tua sudah semakin dikesampingkan sedemikian rupa, ditengah masa tua yang justru semakin butuh perhatian anak-anaknya. Anak tidak bisa lagi punya kasih sayang dan perhatian yang sama seperti yang pernah dilakukan orang tuanya dulu ketika ia butuh kasih sayang dan perhatian…”
Aku hanya tersenyum kecut. Sebenarnya terlalu menyakitkan, bahkan untuk tersenyum. Perlahan, sisi yang ingin kulihat tadi menjelas dan tampak bersamaan dengan warna abu-abu yang beralih ke gumpalan awan yang berarak pelan dan pandanganku yang mulai berkabut. Pelan-pelan kenyataan hitam itu hadir. Mungkin tak perlu seorang anak tidak mengakui orang tua kandungnya untuk menjadi durhaka sekelas Malin Kundang. Seperti inikah durhaka yang halus dan perlahan membunuh jerih payah orang tua ? Aku menjawabnya dengan cemas yang kusimpan rapat-rapat.
Babarapa menit kemudian bis-ku datang. Aku pamit pada orang tua itu dan mengucapkan banyak terima kasih atas nasehatnya. Beliau menepuk-nepuk pundakku dan berkata bahwa aku mirip dengan anaknya yang sedang merantau keluar kota. Aku (lagi-lagi) hanya bisa tersenyum maklum. Kami resmi berpisah.
Dalam perjalanan pulang, aku penuhi janjiku.
Aku berfikir, pernahkan perasaan itu dia sampaikan kepada anaknya ? Teori kambing itu ? Mungkin semua orangtua bisa saja berfikir seperti itu. Tapi berapa dari mereka yang menyatakan langsung pada anaknya ? Ah, kenyataan teori kambing itu terlalu pedih untuk didengar lansung dari orangtua sendiri. Dan aku beruntung, bisa mendengarnya dari mulut orang lain. (KASPIA/SDA/22082010

0 comments:

Post a Comment

Bookmarks

free counters