Friday 25 May 2012

Journey of Sukei: “Seri Kepenulisan.” (Bag :1)


Gag tau binder siapa, tapi emang mirip sama punya aye..

Muaratembesi, Sorolangun, Jambi.
“Di garis seperti ini supaya rapi”. Suara itu membuatku melengok kearah pandanganmu tertuju. Tanganmu asik menoreh garis – garis horizontal dan fertikal membentuk kotak persegi panjang hampir disetiap buku catatan bersampul coklat itu. Aku terpana. Kamu membuatnya melawan hal yang baku, meniadakan garis-garis semu dari pabrik buku tulis Sinar Dunia yang aku yakin itu dibuat dengan mendatangkan ahli desain lulusan terbaik negri ini. Kamu masih sibuk menggaris-garis halaman-halaman dari buku-buku yang lain sementara aku kambali terpekur pada cerita pendekar Wiro Sableng Vol.21 diiringi alunan lagu “Sebuah Kisah Klasik Untuk Masa Depan”-nya Sheila On 7 dari tape recorder tua milik ayahmu. Sebenarnya aku tidak sedang sungguh-sungguh menikamati bacaanku, aku selalu menikmati ketika kamu memberikan hal-hal yang belum aku tahu. Hal-hal yang membuat aku menjadi tidak bosan hidup di pedalaman. Seperti bagaimana seharusnya tulisan tangan itu, katamu suatu ketika, ia harus tepat berada ditengah-tengah garis semu antara atas dan bawahnya, bagaimana tulisan itu harus rapi jali macam diketik namun memiliki ciri khas di tiap goresan hurufnya  sebagai identitas. Sampai sekarang itu masih membekas dihuruf ‘G’ tulisan tanganku.
Teringat saat aku bercerita dengan berbunga-bunga bahwa aku jatuh cinta pada teman sekelas. Kamu, dengan tetap angkuh atas pengalaman-pengalamanmu menaklukan wanita, mengajariku membuat surat cinta, surat cintaku yang pertama (dan terakhir yang terkirim ke orangnya langsung). Kamu kasih tau tentang bagaimana sebuah surat harus tersusun secara kronologis, di awali dengan salam MARISA (Manis Rindu dan Sayang), di selingi dengan bait-bait pantun 4/4, bagaimana merendahkan diri semerana-merananya sambil menuturkan selaksa kekaguman pada sang pujaan dengan tetap menjaga wibawa seorang pejantan tangguh sebagai inti, dan diakhiri dengan saran agar tidak dibuang dan disobek jika dirinya tak sudi menerima pernyataan ini, lebih baik dibakar saja. Lalu dibubuhkan serta sebuah tanda tangan dan nama lengkap dengan sebuah alamat dimana aku berada, “Villa Penatian”.
Dari barat burung pelikan
Terbang elok melayang-layang
Surat ini aku kirimkan
Teruntuk dindaku sayang (Huekzz!!)
Lalu aku belajar banyak untuk menjadi orator dari naskah tulisan sendiri, aku dapat delapan untuk ini. Tidak mengejutkan, mengingat dimata pelajaran bahasa Indonesia adalah tempat dimana nilai tertinggiku bertengger. Saat itu juga aku banyak belajar membuat puisi, bermain dengan indahnya kata-kata dalam balutan rasa. Sampai di sini aku jatuh cinta pada sastra. Tak ada motivasi lain selain bertutur dengan indah adalah warna yang berdegradasi dengan kehidupanku.
Kita punya catatan hitam di sini. ‘Meminjam’ tanpa sepengetahuan si penjaga rental buku. Sebagian dikembalikan dengan selamat, sisanya dikoleksi tanpa merasa berdosa.
Kalitengah, Mranggen, Demak.
Penyakit kleptomania-ku berlanjut. Tapi ini sebatas buku-buku ‘khusus’, semisal komik detektif Conan, detektif Kindaichi dan seri detektif lainya semacam novel Agatha Christy . Korbanya dari berbagai kalangan, mulai dari rental buku, perpustakaan sekolah sampai buku tetangga. Syukurnya penyakit ini tersembuhkan setelah sadar bahwa, gak ada ilmu yang berkah dengan mencuri. Tapi saya niatnya pinjam kok. Oke, itu lupa nggak dikembaliin. Mungkin inget, tapi gak sempet. Baik! Bisa kita berhenti membahas ini??
Namanya mas Wiji, dia buta sejak kecil akibat deman panas yang aneh hampir berbulan-bulan. Aku tidak bisa bayangkan ketika warna dunia kecilnya hilang seketika dalam gelap dan kelabu tak berkesudahan. Sebagai gantinya Tuhan memberinya pendengaran yang tajam dan feeling yang kuat. Dan dia sangat menyukai sastra.
“Bagus nggak mas?” Kataku meminta penilaiannya sesudah ku bacakan sebait pusi.
“Bagus, dia diksi dan gaya bahasanya penuh retorika.”
Aku hanya tersenyum diam.
“Itu karya siapa?”
Aku karang sebuah nama, seperti yang sudah-sudah, agar aku yakin mas menilainya dengan obyektif. Bukankah sebuah lukisan karya Van Gogh lebih punya nilai dibanding lukisan teman sekamarmu yang secara artistik memiliki goresan dan degradasi warna yang sama?  Aku tahu, saat itu kondisiku tak memungkinkan memiliki sebuah kepercayaan diri. Aku terlalu punya banyak luka hati yang mengoyak sebuah keyakinan bahwa adaku berharga.
Lama aku disini hanya menghasilkan cerita luka melulu sepenuh halaman buku isi 35 lembar. Tak ada puisi cinta, tak ada puisi cita dan tak punya kisah bahagia. Syukur buku itu raib tak tau rimbanya. Sampai suatu ketika ia muncul dan aku sudah tak di sini.
Kp. Pasirangin, Cileungsi, Bogor.
Di sini aku cuma mengulang memori masa kecil yang terlalu indah untuk dilupakan. Seolah baru kemarinm disuatu siang, ketika teman-teman lain sudah pulang kerumah masing-masing, aku dengan beberapa teman masih harus menerima pelajaran membaca dari Ibu Susi di rumahnya yang sekaligus berfungsi sebagai kelas kami. Kelas Satu MI (Madrasah Ibtidaiyyah). Tak tahulah kenapa, aku kecil sangat kesulitan mengeja dan menulis, sampai aku mengira istilah tulisan cakar ayam itu berasal dari seorang pepatah yang melihat tulisanku waktu itu. Sampai sekarang itu terbawa saat aku memijit tuts keybord dengan sebelas jari (istilah mengetik dengan satu telunjuk kanan dan satu telunjuk kiri), selalu ada yang kurang dan salah pengejaan. Ini berpengaruh buruk dalam kemampuanku berbahasa selain bahasa Indonesia. Aku cuma berharap aku bukan pengidap dyslexia.

2 comments:

  1. sip gan, lanjutkan.....
    #tembus rekor, first comment on the blog"

    ReplyDelete
  2. Makasih gan.. ente ketigax gan.. :)

    ReplyDelete

Bookmarks

free counters