Wednesday 14 November 2012

Dessert

Iya,,, qaqa,, ciyus...

Akhir-akhir ini entah kenapa produktifitas kemayaan saya ilang. Ilang gitu aja. Aktifitas kemayaan saya padahal cuma sekitar  tulis menulis dan baca membaca. Terutama menulis note di fb yang di masa lalu itu kegiatan maha penting sebagai barometer kegaulan seseorang.

Flashback satu sampai satu setengah tahun yang lalu.

Note di zaman itu adalah satu-satunya alat buat saya meniup balon perkenalan dan melambungkan popularitas (harapannya sih, walau ga kecapai). Note jadi pelampiasan ide-ide absurd saya yang saya percaya jadi penyakit kalo ga di tulis. Tulisan itu menumpuk di kompi (oh, I so miss it), sebagian  bulukan, sebagian lagi membusuk dan sisanya malah hampir tumbuh tunas lagi. (dah kaya penimbunan kopra). Zaman itu, rata-rata note saya menggambarkan keresahan jiwa yang ingin mendobrak status quo, melempar ide-ide invalid sampai cuma koar-koar gaje orang yang lagi ilang pegangan. Kecanduan saya membaca membuat gatel tangan untuk memberi komentar, menyadur untuk di share sampai membuat bantahan.

Dulu di friend list saya ada teman yang note-notenya menggungah dan menginspirasi. Padahal dia anak sastra inggris. (trus apa hubunganya? Ga ada…). Tulisanya kebanyakan adalah refleksi keseharianya. Kalau dipikir-pikir, keseharianya ya biasa aja, sama mungkin dengan yang saya atau kamu alami, atau malah lebih seru. Tapi di sinilah letak hebatnya tulisan. Bisa menggambarkan apa yang tidak bisa dikompromikan dengan video atau photo. Bahkan omongan dalam format mp3 sekalipun. Tulisan sanggup mengembang-biakan imaginasi pembacanya kemana-mana. Sesuai dengan pengalaman spiritual dan kerja si pembaca.

Misal kata “Rumah” bisa diartikan dan difahami berbeda oleh lain orang. Bisa jadi itu berarti sesuatu yang sederhana, nyaman dan dirindukan oleh si perantau yang punya rumah di kampung. Bisa bermakna hole of the hell oleh si broken home yang dimana kata-kata laknat, kutukan, piring terbang dan hal-hal supra natural lainya adalah menu wajib sehari-hari. Bisa juga “rumah” berorientasi pengharapan, masa depan dan do’a yang belum dikabul bagi seorang kontrak-tor. Film atau video hanya akan menyediakan ruang terbatas dan sempit buat daya imajinasi dan fantasimu. Ketika menggambarkan rumah, ya begitulah rumah yang dimaksud si peramu film untuk diterima oleh si penonton film. Ga ada kemungkinan lain yang lebih hebat untuk kondisi jiwa dan akalmu menerima keselarasan harapanmu untuk “rumah” yang dimaksud.

Itu kenapa novel  yang difilmkan seringkali dianggap “nggak sama dengan yang di novel” dan terasa “lebih seru novelnya dari pada filmnya”.  “Kadang sutradara atau arsitek merasa lebih Tuhan. Mereka tidak memberikan kemungkinan lain dalam karyanya“ (Nissa dalam film cin(T)a The Movie).

Sebuah pengalaman yang dishare dalam tulisan memerlukan tak sekedar hamburan kata-kata semena-mena. Harus ada kombinasi khusus yang nyeni dan elegan. Riwayat Laskar Pelangi adalah contoh. Oom Andrea pandai mengolah bahasa sedemikian rupa yang kaya akan analogi yang menggelitik logika, serat inspirasi yang menggugah hidup dan banyak istilah keilmuan yang mencerdaskan. Walau belum se-cool itu, toh harapan saya semoga tulisan saya bisa masuk nominasi percontohan dari pesan Mbak HTR (Helvie Tiana Rossa); “Kalau tulisan kamu belum mampu mencerahkan, maka paling tidak jangan buat tulisan sampah”.

Dunia perngenotan saya waktu itu sangat didukung oleh situasi dan kondisi. Sikon di sini adalah waktu yang maha luang. Supaya tampak jauh beda dengan pengangguran yang mendominasi populasi di negri ini, sok-sokkanlah saya melakukan pencintraan macam pejabat  tak tahu diri dengan bergaya so smart boy and cute ala ABG-ABG ilang orientasi hidup. Kemudian bertahap menjadi semcam pendongeng dan ikut-ikut lomba kepenulisan. Lumayan, 2 buku antologi cerpen, 2 buku antologi puisi dan ratusan tulisan sampah menjadi barang bukti dari modus oprandi kasus menulis dengan motif obsesi dan pembuktian diri. Walau akhirnya ternyata memang saya tak perlu menunjukan apa-apa pada siapa-siapa. Tak perlu.

Sekarang semua berbeda, di mana aktifitas membaca novel atau cerpen menjadi semacam hal tabu apalagi itu buku boleh nyita dari santri sendiri. Rasanya seperti polisi jalan-jalan pake motor tilangan. Lagian semakin ke sini saya menginsafi fakta baru bahwa hidup semakin butuh untuk dikerjakan daripada ditulis. Ngga ada lagi waktu menghayal untuk nerusin cerpen yang panjang itu. Juga semakin memudarnya note-note yang menggugah dan menantang untuk disaingi seperti dulu turut ambil andil dalam kemerosotan beban moral nulis saya. Mungkin penulisnya sudah mulai sibuk juga, atau lahan itu sudah tidak lagi menjanjikan dan kalah oleh iming-iming penerbit yang memburu para noters berbakat agar tulisanya jangan dihambur-hamburkan begitu saja. “Kirim tulisanmu ke sini dengan sarat,.. bla..bla..bla..”

Berjubel syarat itu membunuh kebebasan berkreasi sesuai mood dan inspirasi yang didapat saat itu. Menghapus rasa ingin berbagi tanpa pamrihnya karena tulisan harus “belum pernah dipublikasikan”. Juga menafikan keikhlasan untuk mencerahkan dengan mengandalkan kata “siapa tau kamu yang beruntung dan bisa diterbitkan…” Iming-iming hadiah dan popularitas sudah pasti membinasakan semua hal yang normal menjadi wajar. Normalnya itu begini, tapi karena begitu ya wajarlah..
Alhasil, kebenaran dibalik  note ini adalah supaya saya nggak dikejar-kejar lagi untuk menciptakan note-note lain yang hanya menjadi catatan cacat hidup saya. Konsekwensi dari apa yang kita sampaikan adalah kita harus menjadi perwujudan dari penyampaian itu. Di sini saya ingin berbagi, bukan sekedar pengkonsumsi atau pemproduksi. Ada nilai keseimbangan yang diharapakan.
Alkisah, mungkin dan pastilah banyak kata-kata yang sedikit banyaknya kadar sindiran, celaan dan kesalahan yang warna warni itu, yang boleh jadi memberikan efek luka dan sakit melebihi duri yang menancap di mata, atau pisau oprasi yang tertinggal di usus dua belas jari, atau cantengan akut yang kemasukan bubuk besi karatan. Kiranya  sanggup untuk kalian maklumi kemudian dimaafkan.

Alhamdulillah, mungkin beginilah note penutupan dari saya, sesuatu yang tidak saya mulai dengan sengaja juga harus berakhir sedemikian rupa karena ngantuk yang tak tertahankan. Maka, anggaplah Sukei Darel Aksa hanya mitos, tidak ada orang seperti itu. Tidak akan kamu jumpai di dunia nyata. Dia mungkin hanya sesuatu yang ingin kamu lihat atau malah ikon aneh yang bersumber dari kejijikan bawah sadar kamu sendiri. Namanya tak pernah tercatat di kelurahan setempat. Asal sekolahnyapun hanya ilusi. Tak ada sekolahan seperti itu. Foto-fotonya kemungkinan hanya hasil editan dari googling di internet. Pemilik akun ini menyangkal pernah kenal dan mengetahui sosok Sukei Darel Aksa. Sekian.  (Sok Misterius).

0 comments:

Post a Comment

Bookmarks

free counters