Iya,,, qaqa,, ciyus... |
Akhir-akhir ini entah kenapa produktifitas kemayaan saya
ilang. Ilang gitu aja. Aktifitas kemayaan saya padahal cuma sekitar tulis
menulis dan baca membaca. Terutama menulis note di fb yang di masa lalu itu
kegiatan maha penting sebagai barometer kegaulan seseorang.
Flashback satu sampai satu setengah tahun yang lalu.
Note di zaman itu adalah satu-satunya alat buat saya meniup
balon perkenalan dan melambungkan popularitas (harapannya sih, walau ga
kecapai). Note jadi pelampiasan ide-ide absurd saya yang saya percaya jadi
penyakit kalo ga di tulis. Tulisan itu menumpuk di kompi (oh, I so miss it),
sebagian bulukan, sebagian lagi membusuk dan sisanya malah hampir tumbuh
tunas lagi. (dah kaya penimbunan kopra). Zaman itu, rata-rata note saya
menggambarkan keresahan jiwa yang ingin mendobrak status quo, melempar ide-ide
invalid sampai cuma koar-koar gaje orang yang lagi ilang pegangan. Kecanduan
saya membaca membuat gatel tangan untuk memberi komentar, menyadur untuk di
share sampai membuat bantahan.
Dulu di friend list saya ada teman yang note-notenya
menggungah dan menginspirasi. Padahal dia anak sastra inggris. (trus apa
hubunganya? Ga ada…). Tulisanya kebanyakan adalah refleksi keseharianya. Kalau
dipikir-pikir, keseharianya ya biasa aja, sama mungkin dengan yang saya atau
kamu alami, atau malah lebih seru. Tapi di sinilah letak hebatnya tulisan. Bisa
menggambarkan apa yang tidak bisa dikompromikan dengan video atau photo. Bahkan
omongan dalam format mp3 sekalipun. Tulisan sanggup mengembang-biakan imaginasi
pembacanya kemana-mana. Sesuai dengan pengalaman spiritual dan kerja si
pembaca.
Misal kata “Rumah” bisa diartikan dan difahami berbeda oleh
lain orang. Bisa jadi itu berarti sesuatu yang sederhana, nyaman dan dirindukan
oleh si perantau yang punya rumah di kampung. Bisa bermakna hole of the hell
oleh si broken home yang dimana kata-kata laknat, kutukan, piring terbang dan
hal-hal supra natural lainya adalah menu wajib sehari-hari. Bisa juga “rumah”
berorientasi pengharapan, masa depan dan do’a yang belum dikabul bagi seorang
kontrak-tor. Film atau video hanya akan menyediakan ruang terbatas dan sempit
buat daya imajinasi dan fantasimu. Ketika menggambarkan rumah, ya begitulah
rumah yang dimaksud si peramu film untuk diterima oleh si penonton film. Ga ada
kemungkinan lain yang lebih hebat untuk kondisi jiwa dan akalmu menerima
keselarasan harapanmu untuk “rumah” yang dimaksud.
Itu kenapa novel yang difilmkan seringkali dianggap
“nggak sama dengan yang di novel” dan terasa “lebih seru novelnya dari pada
filmnya”. “Kadang sutradara atau arsitek merasa lebih Tuhan. Mereka tidak
memberikan kemungkinan lain dalam karyanya“ (Nissa dalam film cin(T)a The
Movie).
Sebuah pengalaman yang dishare dalam tulisan memerlukan tak
sekedar hamburan kata-kata semena-mena. Harus ada kombinasi khusus yang nyeni
dan elegan. Riwayat Laskar Pelangi adalah contoh. Oom Andrea pandai mengolah
bahasa sedemikian rupa yang kaya akan analogi yang menggelitik logika, serat
inspirasi yang menggugah hidup dan banyak istilah keilmuan yang mencerdaskan.
Walau belum se-cool itu, toh harapan saya semoga tulisan saya bisa masuk
nominasi percontohan dari pesan Mbak HTR (Helvie Tiana Rossa); “Kalau tulisan
kamu belum mampu mencerahkan, maka paling tidak jangan buat tulisan sampah”.
Dunia perngenotan saya waktu itu sangat didukung oleh
situasi dan kondisi. Sikon di sini adalah waktu yang maha luang. Supaya tampak
jauh beda dengan pengangguran yang mendominasi populasi di negri ini,
sok-sokkanlah saya melakukan pencintraan macam pejabat tak tahu diri
dengan bergaya so smart boy and cute ala ABG-ABG ilang orientasi hidup.
Kemudian bertahap menjadi semcam pendongeng dan ikut-ikut lomba kepenulisan.
Lumayan, 2 buku antologi cerpen, 2 buku antologi puisi dan ratusan tulisan
sampah menjadi barang bukti dari modus oprandi kasus menulis dengan motif
obsesi dan pembuktian diri. Walau akhirnya ternyata memang saya tak perlu
menunjukan apa-apa pada siapa-siapa. Tak perlu.
Sekarang semua berbeda, di mana aktifitas membaca novel atau
cerpen menjadi semacam hal tabu apalagi itu buku boleh nyita dari santri
sendiri. Rasanya seperti polisi jalan-jalan pake motor tilangan. Lagian semakin
ke sini saya menginsafi fakta baru bahwa hidup semakin butuh untuk dikerjakan
daripada ditulis. Ngga ada lagi waktu menghayal untuk nerusin cerpen yang
panjang itu. Juga semakin memudarnya note-note yang menggugah dan menantang
untuk disaingi seperti dulu turut ambil andil dalam kemerosotan beban moral
nulis saya. Mungkin penulisnya sudah mulai sibuk juga, atau lahan itu sudah
tidak lagi menjanjikan dan kalah oleh iming-iming penerbit yang memburu para
noters berbakat agar tulisanya jangan dihambur-hamburkan begitu saja. “Kirim
tulisanmu ke sini dengan sarat,.. bla..bla..bla..”
Berjubel syarat itu membunuh kebebasan berkreasi sesuai mood
dan inspirasi yang didapat saat itu. Menghapus rasa ingin berbagi tanpa
pamrihnya karena tulisan harus “belum pernah dipublikasikan”. Juga menafikan
keikhlasan untuk mencerahkan dengan mengandalkan kata “siapa tau kamu yang
beruntung dan bisa diterbitkan…” Iming-iming hadiah dan popularitas sudah pasti
membinasakan semua hal yang normal menjadi wajar. Normalnya itu begini, tapi
karena begitu ya wajarlah..
Alhasil, kebenaran dibalik note ini adalah supaya saya
nggak dikejar-kejar lagi untuk menciptakan note-note lain yang hanya menjadi
catatan cacat hidup saya. Konsekwensi dari apa yang kita sampaikan adalah kita
harus menjadi perwujudan dari penyampaian itu. Di sini saya ingin berbagi,
bukan sekedar pengkonsumsi atau pemproduksi. Ada nilai keseimbangan yang
diharapakan.
Alkisah, mungkin dan pastilah banyak kata-kata yang sedikit
banyaknya kadar sindiran, celaan dan kesalahan yang warna warni itu, yang boleh
jadi memberikan efek luka dan sakit melebihi duri yang menancap di mata, atau
pisau oprasi yang tertinggal di usus dua belas jari, atau cantengan akut yang
kemasukan bubuk besi karatan. Kiranya sanggup untuk kalian maklumi
kemudian dimaafkan.
Alhamdulillah, mungkin beginilah note penutupan dari saya,
sesuatu yang tidak saya mulai dengan sengaja juga harus berakhir sedemikian
rupa karena ngantuk yang tak tertahankan. Maka, anggaplah Sukei Darel Aksa
hanya mitos, tidak ada orang seperti itu. Tidak akan kamu jumpai di dunia
nyata. Dia mungkin hanya sesuatu yang ingin kamu lihat atau malah ikon aneh
yang bersumber dari kejijikan bawah sadar kamu sendiri. Namanya tak pernah tercatat
di kelurahan setempat. Asal sekolahnyapun hanya ilusi. Tak ada sekolahan
seperti itu. Foto-fotonya kemungkinan hanya hasil editan dari googling di
internet. Pemilik akun ini menyangkal pernah kenal dan mengetahui sosok Sukei
Darel Aksa. Sekian. (Sok Misterius).
0 comments:
Post a Comment