Shot? So quick, so clean an ending?
Oh that was right, lad, that was brave
Yours was not an ill for mending,
'Twas best to take it to the grave
- A.E. Housman (1859-1936)
Apa yang pertama kali muncul dibenak kita saat mendapati kata "Pahlawan."? Di benak masa kecil yang saya ingat adalah, pahlwan itu seorang pria, gagah, punya kekuatan khusus, dan dengan kostumnya yang khas (menampilkan lekuk tubuh berototnya yang aduhai) melawan musuh yang bertampang menyeramkan dan selalu tertawa jahat terbahak-bahak dan berteriak-terika penuh dendam dan saat berbisik sangat menyeramkan. Dan tentu saja, diakhir cerita, sang pahlawan selalu menang gilang gemilang dan si musuh musnah dengn cara mengenaskan. Sebuah kenang-kenangan masa kecil yang serat akan doktrin absurd, issue gender dan sangat individualistis tentunya.
Sampai kapanpun, rupanya, sosok pahlawan akan selalu tampak begitu. Popular, memiliki kekuatan untuk melawan hal jahat dalam artian yang telah disepakati suara terbanyak, dan tampak terpelajar tentunya (lagi).
Maka tak heran, ketika saya mendengar pertanyaan yang lugu tapi tajam dari lidah seorang anak yang bahkan untuk menbedakan mana huruf "R" dan mana yang "L" saja masih kesulitan; 'Mana yang lebih hebat antala Nabi Muhammad dengan Supelmen?'. Ya, jangan bingung-bingung menjawab, sebab memang sering kali teori fantasi tidak seilmiah kenyataan.
Maka izinkan saya perkenalkan salah satu pahlawan yang jauh dari katagori ideal. Namanya Rachel Ailene Corrie. Dia tidak berotot dengan bisep besar macam Rambo, karena ia seorang wanita. Dia tidak memiliki kekuatan super macam Wonder women dengan kostum pengalih perhatian para pria itu, tapi ia adalah wanita dengan sebuah impian yang mengantarkanya ke area paling "enggak banget" di dunia. Gaza the killing zone. Dia juga bukan sosok orang tua bijak yang terdaftar sebagai peraih penghargan Nobel Perdamaian, karena dia keburu mati dilindas buldoser Israel buatan negri kelahiranya, Amerika, saat berusaha mencegah penggusuran sebuah rumah milik warga Gaza yang tidak ia kenal sama sekali. Umurnya baru 23 tahun.
Ia memulainya saat masih 15th Grade (Kelas 5 SD) ketika para pemimpin dunia berdebat panjang kali lebar perihal perang tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Sementara roket-roket terus berjatuhan bagai hujan, butir-butir peluru deras menerjang dan korban-korban bergelimpangan tanpa tuan. Ia angkat bicara di hadapan halayak banyak bahwa harus ada tindakan dan ia peduli untuk itu.
"I'm here because I care…". Katanya. Suara kecil yang tak biasa, saat kebanyakan anak seusia itu merengek minta mainan baru dan pikiranya dipenuhi imajinasi abstrak tentang hayalan bahwa Superman itu benar adanya dan dia suka terbang kesana kemari menyelamatkan layangan mereka yang putus dan belum berfikir kenapa Superman celana dalamnya di luar dan kenapa warnanya harus biru gelap.
Tapi tidak dengan Rachel kecil, anak sekecil itu sudah menjelma menjadi sosoknya sendiri, sekecil itu (sekali lagi), membangun impian ajaibnya untuk membantu menyelamatkan korban bencana yang lebih hebat dari bencana alam; Bencana perang. Varian paling ngeri dari bencana kehidupan.
Bersama teman-temanya di International Solidarity Movement ia menggelar protes lansung di TKP. Cara paling reel untuk berdemonstrasi dengan aksi, bukan basa basi cari sensasi. Jika orang-orang seperti Tom Handel dari inggris tewas ditembak tepat di kepalanya oleh sniper Israel. James Miller juga dari Inggris, mati ditembak IDF, maka berapa banyak warga Gaza yang mati sperti itu.? (ga usah di jawab).
Setiap individu punya katagori pahlawanya masing-masing. Sama seperti artian tentang apa itu kebenaran. Ada yang mengatakan bahwa kebenaran itu tergantung apa agamanya, berapa uangnya dan siapa gurunya.
Kebenaran tidak bisa di-generalisasi-kan berdasarkan hati nurani manusia belaka. Jika hanya berdasarkan itu untuk mengukur kebenaran sebagai hukum, maka wajar jika hukum Tuhan sering dicibir karena dianggap berlawanan dengan nurani yang populer disebut hak asasi manusia itu.
Alhaqqu mirrobbik. Kebenaran itu hak progretive Tuhannya umat Islam. Allah Ta’ala. Dialah yang berhaq memasukkan seorang pelacur ke Syurga hanya sebab welas asihnya terhadap seekor anjing yang kehausan. Dan dialah yang Maha Memutuskan untuk memasukan seorang ibu rumah tangga ke neraka sebab perlakuan kejamnya terhadap seekor kucing yang malang. Manusia hanya sekedar tim pelaksana dan eksekutor dari semua perintah dan larangan Tuhan yang termaktub dan sudah teruji keabsahanya dalam Al-Qur’an Al-Karim. Kitab yang terlalu suci untuk dijabbarkan oleh sekepal otak manusia-manusia yang membencinya. Kebencian yang lahir dari perasaan benci terhadap diri mereka sendiri sebab kesulitan menemukan kelemahan dan something error di dalamnya. Seperti mencoba membantah bahwa bumi itu bundar dengan teori orang yang tinggal di dasar jurang.
Nah, bolehlah kalian mencela saya karena menyanjung seorang non muslim, secara masih banyak tokoh dari ummat Islam yang do more. Tapi saya punya alasan untuk itu. Alasan itu karena perbedaan ini:
Poin 1. Dia wanita saya lelaki. (Itu seperti ditampar kulit duren dan saya gak bales!)
Lelaki mana yang tak tertindas ego, harga diri dan kodratnya jika menyaksikan seorang wanita yang secara tekstur, kemampuan dan kejiwaan tak lebih seperti tingkatan kurva yang menukik kebawah. Lelaki adalah gentleman, sosok yang selalu ada di garis terdepan dan memang sudah didesain Tuhan untuk selalu dan selamanya melindungi kaum hawa. Seperti difungsikanya 7 lapisan ozon untuk melidungi sebuah bumi di bawahnya.
Poin 2. Dia kristiani saya Muslim. (Yang ini seperti ditampar pake sandal bakiak dari stinles steel tepat saat lagi keselek biji duren! Luar biasa loser).
Lebih dari cukup bagi saya untuk menggegarkan kebanggan saya yang mengaku-ngaku di KTP dan profil FB sebagai seorang muslim dari keturunan muslim dan tinggal dilingkungan orang-orang muslim. Bahkan sepertinya agamanya-pun tak menganut sejenis paham yang jadi bahan baku dasar UUD “45 yang bunyi nyaringnya begini: “Bahwa kemerdekaan adalah hak setiap bangsa dan penindasan di atas muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusian dan. bala bla bla…” (Saking nyaringnya dengan kekuatan ribuan desible yang bikin sakit telinga maka saya dapet uzur untuk gak hafal teks aslinya. Maaf pak Syahrir.)
Poin 3. She is American dan saya orang Indonesia raya merdeka jaya selama-lamanya. (Kalo ini saya kaya anak TK ingusan yang benci Kepala Sekolahnya, mainan-mainannya dan tukang jaga gerbangnya.)
Indonesia raya merdeka jaya selama-lamaya dikenal sebagai negri Muslim. Amerika dijuluki negri kafir. Huft… Dosa saya terbanyak adalah sumbangsih dari mencela-cela pemerintah. Jadi cukuplah. Lagian kita sudah sama-sama tahu alangkh lucunya negri ini.
So, sepertinya puisi karya penyair British di atas cukup menggambarkan apresiasi untuk tiap yang mati muda dan berprestasi. Sayangnya, sekali lagi itu untuk lad (anak laki-laki), bukan untuk para Rachel-Rachel (perempuan) yang lain.
Oh that was right, lad, that was brave
Yours was not an ill for mending,
'Twas best to take it to the grave
- A.E. Housman (1859-1936)
Apa yang pertama kali muncul dibenak kita saat mendapati kata "Pahlawan."? Di benak masa kecil yang saya ingat adalah, pahlwan itu seorang pria, gagah, punya kekuatan khusus, dan dengan kostumnya yang khas (menampilkan lekuk tubuh berototnya yang aduhai) melawan musuh yang bertampang menyeramkan dan selalu tertawa jahat terbahak-bahak dan berteriak-terika penuh dendam dan saat berbisik sangat menyeramkan. Dan tentu saja, diakhir cerita, sang pahlawan selalu menang gilang gemilang dan si musuh musnah dengn cara mengenaskan. Sebuah kenang-kenangan masa kecil yang serat akan doktrin absurd, issue gender dan sangat individualistis tentunya.
Sampai kapanpun, rupanya, sosok pahlawan akan selalu tampak begitu. Popular, memiliki kekuatan untuk melawan hal jahat dalam artian yang telah disepakati suara terbanyak, dan tampak terpelajar tentunya (lagi).
Maka tak heran, ketika saya mendengar pertanyaan yang lugu tapi tajam dari lidah seorang anak yang bahkan untuk menbedakan mana huruf "R" dan mana yang "L" saja masih kesulitan; 'Mana yang lebih hebat antala Nabi Muhammad dengan Supelmen?'. Ya, jangan bingung-bingung menjawab, sebab memang sering kali teori fantasi tidak seilmiah kenyataan.
Maka izinkan saya perkenalkan salah satu pahlawan yang jauh dari katagori ideal. Namanya Rachel Ailene Corrie. Dia tidak berotot dengan bisep besar macam Rambo, karena ia seorang wanita. Dia tidak memiliki kekuatan super macam Wonder women dengan kostum pengalih perhatian para pria itu, tapi ia adalah wanita dengan sebuah impian yang mengantarkanya ke area paling "enggak banget" di dunia. Gaza the killing zone. Dia juga bukan sosok orang tua bijak yang terdaftar sebagai peraih penghargan Nobel Perdamaian, karena dia keburu mati dilindas buldoser Israel buatan negri kelahiranya, Amerika, saat berusaha mencegah penggusuran sebuah rumah milik warga Gaza yang tidak ia kenal sama sekali. Umurnya baru 23 tahun.
Ia memulainya saat masih 15th Grade (Kelas 5 SD) ketika para pemimpin dunia berdebat panjang kali lebar perihal perang tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Sementara roket-roket terus berjatuhan bagai hujan, butir-butir peluru deras menerjang dan korban-korban bergelimpangan tanpa tuan. Ia angkat bicara di hadapan halayak banyak bahwa harus ada tindakan dan ia peduli untuk itu.
"I'm here because I care…". Katanya. Suara kecil yang tak biasa, saat kebanyakan anak seusia itu merengek minta mainan baru dan pikiranya dipenuhi imajinasi abstrak tentang hayalan bahwa Superman itu benar adanya dan dia suka terbang kesana kemari menyelamatkan layangan mereka yang putus dan belum berfikir kenapa Superman celana dalamnya di luar dan kenapa warnanya harus biru gelap.
Tapi tidak dengan Rachel kecil, anak sekecil itu sudah menjelma menjadi sosoknya sendiri, sekecil itu (sekali lagi), membangun impian ajaibnya untuk membantu menyelamatkan korban bencana yang lebih hebat dari bencana alam; Bencana perang. Varian paling ngeri dari bencana kehidupan.
Bersama teman-temanya di International Solidarity Movement ia menggelar protes lansung di TKP. Cara paling reel untuk berdemonstrasi dengan aksi, bukan basa basi cari sensasi. Jika orang-orang seperti Tom Handel dari inggris tewas ditembak tepat di kepalanya oleh sniper Israel. James Miller juga dari Inggris, mati ditembak IDF, maka berapa banyak warga Gaza yang mati sperti itu.? (ga usah di jawab).
Setiap individu punya katagori pahlawanya masing-masing. Sama seperti artian tentang apa itu kebenaran. Ada yang mengatakan bahwa kebenaran itu tergantung apa agamanya, berapa uangnya dan siapa gurunya.
Kebenaran tidak bisa di-generalisasi-kan berdasarkan hati nurani manusia belaka. Jika hanya berdasarkan itu untuk mengukur kebenaran sebagai hukum, maka wajar jika hukum Tuhan sering dicibir karena dianggap berlawanan dengan nurani yang populer disebut hak asasi manusia itu.
Alhaqqu mirrobbik. Kebenaran itu hak progretive Tuhannya umat Islam. Allah Ta’ala. Dialah yang berhaq memasukkan seorang pelacur ke Syurga hanya sebab welas asihnya terhadap seekor anjing yang kehausan. Dan dialah yang Maha Memutuskan untuk memasukan seorang ibu rumah tangga ke neraka sebab perlakuan kejamnya terhadap seekor kucing yang malang. Manusia hanya sekedar tim pelaksana dan eksekutor dari semua perintah dan larangan Tuhan yang termaktub dan sudah teruji keabsahanya dalam Al-Qur’an Al-Karim. Kitab yang terlalu suci untuk dijabbarkan oleh sekepal otak manusia-manusia yang membencinya. Kebencian yang lahir dari perasaan benci terhadap diri mereka sendiri sebab kesulitan menemukan kelemahan dan something error di dalamnya. Seperti mencoba membantah bahwa bumi itu bundar dengan teori orang yang tinggal di dasar jurang.
Nah, bolehlah kalian mencela saya karena menyanjung seorang non muslim, secara masih banyak tokoh dari ummat Islam yang do more. Tapi saya punya alasan untuk itu. Alasan itu karena perbedaan ini:
Poin 1. Dia wanita saya lelaki. (Itu seperti ditampar kulit duren dan saya gak bales!)
Lelaki mana yang tak tertindas ego, harga diri dan kodratnya jika menyaksikan seorang wanita yang secara tekstur, kemampuan dan kejiwaan tak lebih seperti tingkatan kurva yang menukik kebawah. Lelaki adalah gentleman, sosok yang selalu ada di garis terdepan dan memang sudah didesain Tuhan untuk selalu dan selamanya melindungi kaum hawa. Seperti difungsikanya 7 lapisan ozon untuk melidungi sebuah bumi di bawahnya.
Poin 2. Dia kristiani saya Muslim. (Yang ini seperti ditampar pake sandal bakiak dari stinles steel tepat saat lagi keselek biji duren! Luar biasa loser).
Lebih dari cukup bagi saya untuk menggegarkan kebanggan saya yang mengaku-ngaku di KTP dan profil FB sebagai seorang muslim dari keturunan muslim dan tinggal dilingkungan orang-orang muslim. Bahkan sepertinya agamanya-pun tak menganut sejenis paham yang jadi bahan baku dasar UUD “45 yang bunyi nyaringnya begini: “Bahwa kemerdekaan adalah hak setiap bangsa dan penindasan di atas muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusian dan. bala bla bla…” (Saking nyaringnya dengan kekuatan ribuan desible yang bikin sakit telinga maka saya dapet uzur untuk gak hafal teks aslinya. Maaf pak Syahrir.)
Poin 3. She is American dan saya orang Indonesia raya merdeka jaya selama-lamanya. (Kalo ini saya kaya anak TK ingusan yang benci Kepala Sekolahnya, mainan-mainannya dan tukang jaga gerbangnya.)
Indonesia raya merdeka jaya selama-lamaya dikenal sebagai negri Muslim. Amerika dijuluki negri kafir. Huft… Dosa saya terbanyak adalah sumbangsih dari mencela-cela pemerintah. Jadi cukuplah. Lagian kita sudah sama-sama tahu alangkh lucunya negri ini.
So, sepertinya puisi karya penyair British di atas cukup menggambarkan apresiasi untuk tiap yang mati muda dan berprestasi. Sayangnya, sekali lagi itu untuk lad (anak laki-laki), bukan untuk para Rachel-Rachel (perempuan) yang lain.
0 comments:
Post a Comment